Autisme merupakan salah satu dari Pervasive
developmental disorders (PDDs) yang paling sering ditemui. Karakteristik dari PDDs adalah kerusakan yang
parah dan menyebar pada interaksi sosial dan kemampuan berkomunikasi, dan pola
perilaku, ketertarikan dan aktifitas tertentu dan khusus.
Autisme merupakan salah satu
gangguan yang cukup parah yang bercirikan keabnormalan di dalam fungsi sosial,
bahasa dan komunikasi, dan dengan ketertarikan dan perilaku yang tidak biasa.
Gangguan ini mengakibatkan aspek-aspek interaksi anak dengan lingkungan di
sekitarnya turut terganggu.
SEJARAH AUTISME
Istilah autisme pertama kali
dikemukakan oleh seorang psikiater yang berasal dari Swiss, bernama Eugen
Bleuler pada tahun 1911. Saat itu istilah autisme digunakan untuk
mendeskripsikan pasien-pasien yang menderita schizophrenia, namun masih memiliki kontak dengan realitas.
Pada awal tahun 1940an dua
orang psikiater, Leo Kanner dan Hans Asperger, secara terpisah menggambarkan
anak-anak yang memunculkan kerusakan sosial, keanehan berbahasa dan
ketertarikan kepada hal yang tidak biasa. Anak-anak tersebut juga kehilangan
kontak dengan realitas, namun tidak menderita schizophrenia. Kanner menggambarkan 11 orang anak-anak, yang di
tahun-tahun awal kehidupannya, menghindari kontak mata, kekurangan kesadaran
sosial, memiliki keterlambatan bahkan tidak memiliki bahasa, dan menunjukkan
kekhususan aktifitas motorik, termasuk obsesi untuk memaksakan preservation of sameness. Para orang tua
menyebutkan keluhan bahwa anak mereka berada di dalam “dunia lain”.
Kanner menyebut gangguan ini dengan sebutan early infantile autism (autism
= ‘within oneself’). Menurut Kanner, anak-anak yang menderita gangguan
ini tidak dapat menghubungkan dirinya secara normal dengan orang lain dan
lingkungan sekitarnya sejak saat awal kehidupan. Kanner juga menyebutkan bahwa
terdapat sebuah “extreme autistic
aloneness”, dimana anak-anak yang menderita gangguan ini seperti menutup
diri secara utuh dari dunia luar. Gangguan ini biasanya dimunculkan oleh anak
sejak saat lahir dengan ciri-ciri tidak mampu untuk membentuk hubungan cinta
kasih dengan orang lain (termasuk orang tua).
Kanner juga menggambarkan para
orang tua yang memiliki anak autis bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat
cerdas dan terobsesi. Di samping itu mereka juga dingin, mekanis dan memisahkan
diri dari sebuah hubungan. Kanner menyebut para orang tua tersebut dengan
sebutan “refrigerator parents”. Oleh
karena itu, walaupun autisme merupakan seubah kekurangan sejak lahir, namun
gangguan ini sudah tertanam dalam diri penderitanya secara genetik, dimana para
orang tua tidak menginginkan keberadaan anaknya. Namun pernyataan Kanner
mengenai hal ini tidak didukung oleh bukti-bukti nyata.
Kenyataannya, autisme bukanlah
merupakan akibat dari orang tua yang tidak menginginkan kehadiran anaknya,
melainkan akibat ketidakberhasilan anak dalam memasuki realitas karena
terganggunya tahap perkembangan secara serius. Karena tulisan asli Kanner
mengenai gangguan ini sudah berumur lebih dari 50 tahun, pada perkembangannya
autisme dikenal sebagai gangguan yang didasari oleh gangguan biologis sehingga
menyebabkan gangguan perkembangan pada tahun pertama kehidupan anak.
KARAKTERISTIK UTAMA AUTISME
Karakteristik utama yang
terdapat di dalam gangguan autisme bukan merupakan karakter yang terpisah,
melainkan berkaitan satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain karakter yang
satu mempengaruhi karakter yang lainnya. Karakter utama tersebut antara lain
kerusakan sosial, kerusakan komunikasi dan perilaku dan ketertarikan yang
berulang.
Kerusakan Sosial
Anak-anak yang menderita
autisme memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain. Sejak usia yang
sangat belia, mereka menunjukan banyak kekurangan di dalam kemampuan yang
sangat penting untuk awal perkembanan sosial, seperti mengimitasi orang lain,
berorientasi pada stimulus sosial, membagi gokus atensi dengan orang lain, memahami
emosi orang lain, dan terlibat di dalam sebuah permainan yang mengasah
kepercayaan kepada orang lain. Seiring dengan pertumbuhannya, anak-anak
penderita autisme hanya memiliki perilaku sosial yang sangat minim dan terlihat
tidak responsif terhadap perasaan orang lain. Ekspresi sosial dan kesensitifan
terhadap petunjuk sosial dari orang lain sangant terbatas dan rasa berbagi
perasaan ataupun pengalaman yang ada di dalam diri anak sangat sedikit.
Anak-anak penderita autisme pada umumnya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi
dalam berintegrasi sosial, berkomunikasi dan mengekspresikan perilaku
emosional, yang sangat dibutuhkan untuk menyambut orang lain yang memasuki
ruangan tempat dirinya berada. Oleh karena itu mereka memperlakukan orang lain
sebagai sebuah objek, bukan manusia.
Anak-anak penderita autisme
memunculkan kerusakan di semua aspek “joint
social attention”, yaitu kemampuan untuk mengkoordinasikan fokus perhatian
kepada orang lain dan sebuah objek sebagai ketertarikan yang saling
menguntungkan. Joint social attention
biasanya sudah terbentuk saat usia 12 sampai 15 bulan, termasuk menunjukkan
perhatian terhadap objek ataupun orang dengan cara menunjuk, memperlihatkan,
melihat dan berkomunikasi untuk berbagi ketertarikan. Walaupun para penderita autisme
dapat membawakan sebuah benda kepada orang lain ataupun menunjuk sebuah objek
ketika mereka menginginkan orang lain untuk melakukan sesuatu, mereka hanya
menunjukkan sedikit ketertarikan dan kesenangan ketika melakukan hal-hal
tersebut.
Anak-anak yang menderita
autisme memproses informasi sosial dengan cara yang tidak biasa. Di usia muda,
mereka memiliki kesulitan yang melebihi anak-anak lain dalam hal mengimitasi
gerakan tubuh maupun mainan, atau mengorientasikan stimulus sosial atau
stimulus non sosial. Selain itu, di dalam memproses informasi mengenai wajah
manusia, mereka lebuh terfokus kepada bagian-bagian tertentu dari wajah,
seperti hidung, mulut, mata; daripada melihatnya sebagai satu kesatuan.
Walaupun demikian, kebanyakan
anak-anak yang menderita autisme masih dapat memberikan respon yang berbeda
terhadap orang yang merawatnya dengan orang asing. Oleh karenanya anak-anak
yang menderita autisme tidak mengalami defisit dalam membentuk sebuah kedekatan
atau attachment melainkan kurang
mampu memahami dan merespon suatu informasi sosial.
Ketidak mampuan memproses
suatu informasi sosial mengakibatkan anak-anak penderita autisme juga memiliki
masalah dalam memproses informasi emosional yang terdiri dari bahasa tubuh, gesture, ekspresi wajah maupun suara.
Hal ini membuat anak-anak penderita autisme memiliki ekspresi emosi yang
berbeda dengan anak-anak normal, seperti terbatasnya gerakan-gerakan spontan, bizarre, kaku ataupun ekspresi wajah
yang mekanis. Walaupun demikian, masih belum diketahui apakah para penderita
autisme mengalami sebuah emosi secara berbeda dibandingkan anak-anak lain.
Kesulitan-kesulitan di atas
biasanya akan terus dialami oleh para penderita autisme seiring dengan
bertambahnya usia.
Kerusakan Komunikasi
Anak-anak yang menderita autisme
menunjukkan abnormalitas yang serius di dalam komunikasi dan bahasa yang muncul
di awal kehidupan dan berlanjut dari waktu ke waktu. Hal ini turut dipengaruhi
oleh kerusakan sosial yang dialami oleh penderita autisme.
Salah satu tanda awal dari
kerusakan bahasa yang dialami anak-anak penderita autisme adalah ketidak
konsistenan mereka dalam menggunakan komunikasi preverbal awal. Contohnya,
seorang anak penderita autisme dapat menunjuk seekor binatang yang ia inginkan,
namun berada di luar jangkauannya. Dengan melakukan hal tersebut, anak tersebut
sudah menunjukkan penggunaan protoimperative
gestures, yaitu vokalisasi yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah
kebutuhan. Namun, anak ini tidak akan berhasil melakukan protodeclarative gestures, yaitu vokalisasi yang digunakan untuk
menunjukkan atensi visual dari orang lain terhadap sebuah objek ataupun berbagi
ketertarikan. Tujuan utama dari protodeclarative
gestures adalah untuk melibatkan orang lain di dalam sebuah interaksi.
Penggunaan protodeclarative gestures
membutuhkan rasa ingin berbagi dalam hal atensi sosial dan pemahaman yang
implisit tentang apa yang dipikirkan orang lain. Kemampuan ini kurang dimiliki
oleh anak-anak penderita autisme. Selain itu, anak-anak penderita autisme juga
kurang mampu menggunakan showing gesture,
yang biasa digunakan anak-anak untuk mengungkapkan ketertarikan terhadap suatu
hal, seperti saat menerima mainan baru.
Anak-anak yang menderita
autisme juga biasanya jarang menggunakan bahasa untuk mengungkapkan apa yang ia
inginkan. Mereka biasanya menggunakan bahasa primitif seperti instrumental gesture untuk membuat orang
lain untuk melakukan sesuatu. Selain itu, mereka juga biasanya tidak
menggunakan espressive gestures dalam
mengungkapkan perasaan mereka. Hal ini bisa dikaitkan dengan kelainan pada
gerakan motorik yang terdapat di wajah, khususnya mulut serta intelegensi
verbal yang kurang memadai pada anak-anak penderita autisme. Biasanya kesulitan
berbahasa ini terjadi hingga usia 5 tahun. Oleh karenanya, anak-anak penderita
autisme memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Walaupun hampir seluruh penderita autisme
mengalami keterlambatan bahasa, penggunaan bahasa-bahasa “menyimpang”lah yang
paling sering dikeluhkan oleh orang tua. Anak-anak penderita autisme umumnya
menggunakan kata-kata yang kurang relevan dengan konteks pembicaraan dan
kata-kata tersebut sulit dikonfirmasi apa maksudnya. Mereka menggunakan bahasa
yang konkret dan spesifik, namun berdasarkan pengalaman pribadi sehingga
maksudnya pun sangat personal.
Akibat pemakaian bahasa verbal
yang tidak biasa tersebut, biasanya anak-anak yang menderita autisme juga
mengalami pronoun reverals dan echolalia. Pronoun reverals terjadi saat anak mengulang personal pronouns tepat seperti apa yang ia dengar. Contohnya,
“Siapa nama kamu?” anak-anak autisme akan menjawab pertanyaan ini dengan, “Nama
kamu Jen”. Sedangkan echolalia
merujuk kepada jawaban anak yang seperti “membeo” ketika ditanya. Contohnya,
“Apakah kamu sudah makan?” anak tersebut akan menjawab, “Apakah kamu sudah
makan?” Di samping itu, anak-anak penderita autisme juga dapat memunculkan perseverative speech, yaitu membicarakan
topik yang sama secara terus menerus.
Para anak pengidap autisme
menunjukkan kerusakan pada kemampuan pragmatics,
yaitu kemampuan menggunakan bahasa yang tepat di dalam sebuah konteks
komunikasi dan sosial. Contohnya, ketika ada telepon yang sedang berdering,
anak autisme diminta untuk mengangkat telepon tersebut. Namun ternyata anak
tersebut hanya menjawab “oke” tanpa mengangkat telepon. Hal ini disebabkan
karena anak tersebut tidak memahami konteks sosial di mana jika telepon
berdering, maka telepon tersebut perlu untuk diangkat. Bahkan anak-anak
penderita autisme yang sudah menguasai tata bahasa dan memiliki vocabulary yang baik, kesulitan dalam
kemampuan pragmatics tetap muncul.
Selain itu, anak-anak
penderita autisme juga gagal untuk berbicara dengan intonasi ataupun kualitas
suara yang tepat. Hasilnya, mereka tidak dapat membedakan kapan harus
menggunakan intonasi suara dengan keras, dan kapan harus menggunakan intonasi
suara dengan lembut. Hal ini mungkin berkaitan dengan sedikitnya ketertarikan
mereka untuk mendengarkan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Perilaku dan Ketertarikan yang Berulang
Anak-anak yang menderita
autisme memiliki self-stimulatory
behaviors, yaitu gerakan atau pergerakan badan yang berulang terhadap
sebuah atau beberapa objek. Walaupun perilaku ini juga muncul pada anak-anak
yang menderita gangguan mental lainnya, pada penderita autisme, perilaku ini
bersifat menetap (dari kecil hingga dewasa).
Berikut adalah bentuk self-stimulatory
behaviors yang sering ditemui pada anak-anak yang menderita autisme:
a. Visual: kedipan mata yang berulang, menatap pada
cahaya (lampu), bertepuk tangan, menggerakkan jari di depan mata.
b.
Auditory:
menjentikkan jari, membuat suara vokal, tapping
ears, memutar benda di meja.
c. Tactile: menggaruk, mengusap kulit dengan tangan
atau benda lain.
d. Vestibular: berguling dari depan ke belakang,
berguling dari sisi ke sisi.
e. Taste: menempatkan bagian tubuh atau benda lain
ke dalam mulut, menjliat benda.
f. Smell: mencium benda, mengendus orang lain.
Penyebab dari perikau dan
ketertarikan yang berulang pada anak-anak penderita autisme sampai sekarang
masih belum diketahui. Beberapa ahli menyebut bahwa alasan anak-anak autisme
berperilaku demikian adalah untuk menstimulasi diri mereka sendiri untuk
menarik sistem saraf mereka (kurangnya stimulus dari lingkungan). Namun, ada
juga yang berpendapat bahwa penyebab perilaku berulang tersebut adalah untuk
mengatasi stimulus lingkungan yang berlebih.
KARAKTER-KARAKTER YANG BERHUBUNGAN DENGAN AUTISME
Intelectual Deficits and Strengths
Anak-anak
yang menderita autisme memiliki rentang intelegensi yang bervariasi, dari
retardasi mental sampai superior. Walaupun anak-anak yang memiliki kemampuan
superior seringkali disorot oleh media masa, namun pada kenyataannya sekitar
80% anak-anak penderita autisme juga memiliki retardasi mental. 60% dari mereka
memiliki IQ kurang dari 50% dan 20% memiliki IQ antara 50 sampai 70. Sedangkan
20% memiliki IQ rata-rata dan di atas rata-rata.
Kerusakan
sosial yang dialami oleh anak-anak penderita autisme lebih sering dialami oleh
mereka yang memiliki level terendah dari fungsi intelektual. Namun, tidak
seperti anak-anak penderita retardasi mental yang memperlihatkan keterlambatan
di hampir seluruh area dari fungsi mental, anak-anak penderita autisme yang
memiliki IQ kurang dari 70 yang menjalani tes intelegensi menunjukkan bahwa
mereka memiliki kemampuan yang baik di beberapa subtes. Namun, rata-rata
penderita autisme memiliki skor yang rendah pada subtes social comprehension dan rata-rata memiliki skor relatif tinggi
pada nonverbal Digit Span dan Block Design (subtes yang dimiliki oleh Weschler Intelligence Scale).
Kemampuan
intelektual yang rendah pada anak-anak penderita autisme pada umumnya
berhubungan dengan hasil jangka panjang yang rendah dan hanya mereka yang
memiliki kemampuan intelegensi rata-rata atau lebih yang dapat mencapai status
mandiri pada saat dewasa. Skor IQ pada anak-anak penderita autisme biasanya
bersifat stabil dari waktu ke waktu dan merupakan prediktor yang baik bagi
tingkat pencapaian hasil pendidikan. Namun, intervensi awal dapat meningkatkan
kemampuan intelegensi pada anak-anak penderita autisme.
Di
samping kemampuan intelegensi yang kurang, anak-anak penderita autisme memiliki
splinter skill atau islets of ability. Kemampuan spesial
mereka antara lain mengeja, membaca, aritmatika, musik atau menggambar.
Kemampuan ini tidak dimiliki oleh setiap anak penderita autisme, namun sering
ditemui pada anak penderita autisme.
Selain
itu, sekitar 5% anak penderita autisme memiliki autistic savants, yaitu kemampuan supernormal di dalam beberapa
area, seperti kalkulasi, memori, jigsaw
puzzles, musik ataupun menggambar, melebihi ana-anak normal sekalipun.
Kemampuan ini tidak terbatas pada penderita autisme yang memiliki IQ rata-rata
atau lebih namun juga dimiliki oleh penderita yang memiliki IQ di bawah 70. Hal
ini dipengaruhi oleh salah satu karakter khusus yang dimiliki oleh anak-anak
penderita autisme, yaitu kebiasaan dan ketertarikan yang berulang. Selain itu,
perlu diingat bahwa para penderita autisme memiliki kecenderungan untuk
menerima informasi secara segmentasi (per bagian) daripada secara keseluruhan.
Hal ini membawa mereka memiliki kemampuan yang bersifat pengecualian di
beberapa domain. Selain itu anak-anak penderita autisme juga lebih berpikir
berdasarkan gambar (image)
dibandingkan dengan ide abstrak sehingga membuat mereka dapat mengingat materi
secara sistem kamera atau recorderlike
fashion. Sayangnya, kemampuan ini jarang sekali dimanfaatkan oleh para
penderita autisme untuk kehidupannya sehari-hari.
Sensory and Perceptual Impairments
Kebanyakan
pengliahtan, suara, bau ataupun tekstur yang tidak mengganggu kebanyakan anak
normal dapat menjadi membingungkan bahkan menyakitkan bagi anak-anak penderita
autisme. Seorang anak penderita autisme dapat menyadari bahwa bereaksi terhadap
suara seseorang yang spesifik sekeras teriakan, sentuhan tangan yang lembut
dapat menimbulkan rasa sakit ataupun suara dering telepon dapat menjadi suara
yang memekakkan telinga. Hal ini berkaitan dengan kemampuan yang terlalu
sensitif pada anak-anak penderita autisme terhadap stimulus tertentu, overselective dan kerusakan pergantian
atensi terhadap input sensori dan kerusakan terhadap mixing across sensory modalities, contohnya secara terus menerus
melihat sebuah pergerakan dan mendengarkan suara tepuk tangan seseorang.
Teori
awal mengenai sutisme terhadap keterkaitan dengan sensory and perceptual deficit antara lain sensory dominance dan stimulus
overselectivity. Sensory dominance
adalah kecenderungan untuk fokus terhadap tipe-tipe input sensori tertentu
daripada orang lain. Contohnya, lebih fokus terhadap suara daripada
penglihatan. Sedangkan stimulus
overselctivity adalah kecenderungan untuk fokus terhadap fitur-fitur dari
sebuah objek atau kejadian di dalam lingkungan, namun pada saat yang bersamaan
mengabaikan fitur-fitur penting lainnya. Contohnya, pada saat ibu berkata, “Ayo ke sini…” anak penderita autis bisa
hanya terfokus kepada gerakan bibir dari ibunya tanpa mendengarkan suara
perintah ibunya. Hal ini juga dapat berpengaruh terhadap proses belajar pada
anak. Misalnya, ketika dihadapkan pada pelajaran membedakan mobil merah dan
truk biru, anak penderita autisme akan menghadapi kesulitan untuk membedakan
warna dan jenis mobil sekaligus. Anak tersebut mungkin dapat membedakan warna,
namun pada saat yang bersamaan ia tidak dapat membedakan bentuk dari mobil dan truk.
Hal ini tentu dapat menyulitkan anak-anak untuk menghadapi kehidupannya di luar
rumah, terutama ketika ia harus menggunakan kendaraan umum.
Cognitive Deficits
Selain
kedua karakter di atas, anak-anak penderita autisme juga memiliki keterbatasan
kognisi.
1.
Specific Deficits
Proses pemahaman sosial,
emosi, informasi personal seperti ekspresi emosi, facial cues, dan internal
mental states pada anak-anak penderita autisme memang kurang jika
dibandingkan dengan anak-anak normal. Hal ini dapat menjelaskan perilaku sosial
yang aneh pada anak-anak yang menderita autisme. Mereka memiliki keterbatasan
dan kesulitan dalam memahami keadaan sosial sehingga terjadi “kerusakan”
interaksi sosial dalam diri mereka.
Selain itu, anak-anak
penderita autisme tidak dapat memahami permainan yang bersifat “pura-pura”.
Contohnya, pada saat bermain boneka, anak yang normal mengerti cara menyuapi
bonekanya yaitu dengan menggunakan sendok mainan dan “makanan bohongan” ke
dalam mulut boneka, namun anak penderita autisme tidak memahami hal ini, bahkan
anak tersebut dapat memutar-mutar sendok mainan secara berulang tanpa
menggubris keberadaan si boneka. Hal ini berkaitan dengan sebuah hipotesis
bahwa anak-anak penderita autisme memiliki kerusakan pemahaman terhadap mental states dirinya dan orang lain
yang tidak dapat dilihat secara langsung, seperti kepercayaan dan keinginan.
Hal ini didukung oleh theory of mind
(ToM) yang memiliki premis kemampuan manusia membaca intensi, kepercayaan,
perasaan dan keinginan orang lain berdasarkan perilaku eksternal mereka
memiliki dampak besar untuk bertahan hidup dari sebuah evolusi. ToM menyatakan
bahwa semua orang, secara alami adalah pembaca pikiran (mind readers). Dan manusia melakukan hal ini secara otomatis dan
mengeluarkan sedikit usaha. Anak-anak yang menderita autisme kurang memiliki
premis yang dinyatakan oleh ToM sehingga mereka kurang dan bahkan tidak dapat
membaca pikiran orang lain. Dan hal ini dapat menjadi sangat membingungkan,
misterius, bahkan menakutkan bagi anak-anak penderita autisme. Anak-anak dengan
ToM deficits dapat mempelajari,
mengingat dan mengetahui hal-hal tentang dunia sosial, namun kurang dapat
memahami pengertian dunia sosial tersebut. Namun perlu diingat bahwa ToM deficits tidak dialami oleh semua
anak-anak penderita autisme, namun sering dijumpai pada anak-anak penderita
autisme.
2.
General Deficits
Pada umumnya, anak-anak penderita autisme memiliki kekurangan pada higher order planning dan regulatoru behavior atau yang biasa
disebut sebagai sexecutive functions
yang berlokasi di bagian frontal otak. Fungsi eksekutif berfungsi untuk
melakukan problen-solving framework yang
efektif dengan cara mengelminir perliaku yang tidak sesuai, terlibat di dalam
aksi yang telah dipikirkan matang-matang, mempertahankan bahkan meningkatkan task performance, self-monitoring, menggunakan umpan balik, dan fleksibel dalam
memindahkan perhatian dari satu tugas ke tugas lainnya. Anak-anak penderita
autisme memiliki kesulitan di dalam membuat rencana dan mengorganisir,
berpindah atau berubah ke sebuah set kognitif yang baru, tidak terlibat dalam
sebuah stimulus penting, memproses informasi secara berbeda, lingkungan yang
tidak dapat diprediksi dan menggeneralisasikan informasi yang telah dipelajari
sebelumnya ke dalam situasi baru.
Selain itu, anak-anak penderita autisme juga memiliki keinginan yang
lemah untuk central coherence, yang
mengacu kepada keinginan kuat manusia untuk menginterpretasi stimulus dengan
cara yang relatif umum yang melibatkan konteks yang lebih luas ke dalam sebuah
cara yang spesifik. Dengan melakukan central
coherence kita dimungkinkan untuk membuat sebuat makna dari berbagai macam
set informasi yang kompleks serta mengingat nilai-nilai utamanya daripada
detailnya secara tepat. Hal ini juga
dapat menyebabkan kerusakan komunikasi bagi anak-anak penderita autisme.
Physical Characteristics
Sekitar
20% hingga 30% dari anak-anak autisme juga menderita epilepsy. Kebalikannya, individu yang menerita retardasi mental,
dimana epilepsi biasanya terjadi pada usia muda, individu yang menderita
autisme memperlihatkan kemunculan epilepsi yang relatif tinggi pada usia remaja
akhir hingga dewasa muda.
Di
samping itu, penderita autisme memiliki penampilan fisik yang normal bahkan
memikat. Hal ini menjelaskan bahwa anak-anak penderita autisme tidak memiliki
deviasi pada penampilan fisik seperti pada penderita retardasi mendal yang
tidak berhubungan dengan autisme. Anak-anak yang menderita autisme lebih
memperlihatkan minor physical anomalies
seperti wajah yang asimetris. Hal ini dipengaruhi oleh sifat genetis atau
faktor-faktor prenatal lainnya di dalam autisme.
Kanner
(1943) mencatat bahwa 5 dari 11 anak yang telah ia observasi memiliki kepala
yang relatif besar. Observasi ini konsisten dengan beberapa laporan yang
menyatakan bahwa 25% individu penderita autisme memiliki lingkar kepala yang
lebih besar dibandingkan dengan orang biasa hingga 3% besarnya.
Characteristics of Family Members
Kanner
mengobservasi bahwa orang tua dari seluruh anak penderita autisme yang ia
pelajari (11 orang) adalah individu yang memiliki intelegensi yang cukup
tinggi. Namun hal ini tidak apat digeneralisasikan ke dalam populasi yang
besar, sebab ternyata sampel yang digunakan Kanner tidak merepresentasikan
populasi. Selain itu, ada anggapan yang populer bahwa autisme biasanya diderita
oleh anak-anak dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas, namun hal ini
tidak terbukti secara signifikan, terutama apabila penelitian menggunakan
kriteria kontemporer dalam membuat diagnosa.
Similar Deficits in Relatives
Kembar identik, saudara
kandung dan orang tua yang tidak menderita autisme, khususnya pria, yang
dimiliki oleh individu penderita autisme biasanya memiliki kekurangan di dalam
komprehensi verbal dan kognisi, namun tidak separah penderita autisme. Hal ini
menjadi resiko tersendiri untuk menghasilkan individu autistik sebagai akibat
dari keturunan atau genetik.
Affective Disorder in Relatives
Beberapa
penelitian menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara kelainan afeksi
pada keluarga dengan penderita autisme. Selain itu gangguan yang sering
terdapat di dalam keluarga individu penderita autisme yang tidak memiliki
retardasi mental adalah fobia sosial. Selain itu, kesiapan dan prioritas
memiliki anak diperkirakan juga terkait dengan gangguan autisme. Hal ini berhubungan
dengan afeksi yang diberikan orang tua terhadap anak mereka. Namun, hal ini
masih perlu diteliti lebih lanjut lagi.
Stress in Home
Kehidupan
bagi orang tua yang memiliki anak yang menderita autisme dapat sangat kacau dan
melelahkan. Hal ini dapat menjadi stressor tersendiri bagi orang tua sehingga
orang tua kesulitan untuk mengendalikan diri sendiri dan anak mereka yang
menderita autisme. Mereka juga seringkali malu dan kurang dapat menerima
keadaan anak mereka sehingga tidak jarang mereka menghindari untuk
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
SUBTIPE AUTISME
Lorna Wing mengkategorikan autisme
ke dalam 3 buah subtype, antara lain:
1.
Aloof.
Anak jarang memunculkan kedekatan sosial secara spontan terhadap orang
lain, kecuali untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan, dan cenderung untuk
menolak kontak fisik dan sosial secara sukarela.
2.
Passive.
Anak memunculkan kekurangan
kedekatan sosial secara spontan, tetapi mau terlibat dengan orang lain saat
didekati dengan cara yang khusus, namun memerlukan interaksi terstruktur dengan
orang lain.
3.
Active-but-odd.
Anak menunjukkan kemauan untuk
mendekati orang lain, tetapi dengan cara yang aneh, naif atau one-sided manner.
ACCOMPANYING
DISORDERS AND SYMPTOMS
Gangguan yang biasanya menyertai
autisme adalah epilepsi dan retardasi mental. Gejala-gejala psikiatrik dari anak-anak penderita autisme meliputi
hiperaktifitas, obsesi ritual, perilaku yang bersifat stereotipe, kecemasan,
ketakutan dan perilaku kompulsi. Beberapa anak yang mendertia autisme juga
terlibat di dalam self-injurious behavior
(SIB) yang ekstrim dan bahkan membahayakan, yaitu perbuatan yang dapat
menyebabkan kerusakan pada tubuh anak itu sendiri. Bentuk SIB yang
sering dijumpai adalah membenturkan kepala, menggigit tangan atau lengan, dan excessive scratching and rubbing.
DIFFERENTIAL
DIAGNOSIS AND OTHER PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDERS
1.
Asperger’s
Disorder
Gangguan ini diungkapkan oleh
Hans Asperger pada tahun 1944, yang menyebut gangguan ini dengan sebutan
“autistic psychopathy”.
Perbedaan mendasar antara
gangguan Asperger dengan autisme adalah anak-anak yang menderita gangguan ini
memiliki verbal mental age yang lebih
tinggi, keterlambatan bahasa yang lebih rendah, serta lebih menunjukkan
ketertarikan kontak sosial dibandingkan dengan penderita autisme. Selain itu,
gangguan ini biasanya muncul pada usia yang lebih tua dibandingkan dengan
autisme.
Namun, terdapat beberapa
persamaan gejala antara gangguan Asperger dengan autisme, antara lain sulit
berinteraksi sosial, memiliki pola perilaku dan ketertarikan yang tidak biasa
dengan kognisi dan kemampuan komunikasi yang cukup baik.
2.
Rett’s Disorder
Gangguan ini ditemukan oleh
Andreas Rett di Vienna, Austria pada tahun1974. Karakter dari gangguan
ini antara lain:
a. pertumbuhan otak melambat antara usia 5
hingga 48 bulan.
b. Kehilangan kemampuan tangan yang telah
dipelajari antara 5 hingga 30 bulan dengan perkembangan pergerakan tangan yang
stereotipe dan subsequent.
c. Kehilangan keterlibatan sosial pada awal
kemunculan (walaupun kebanyakan interaksi sosial terbentuk nantinya)
d. Menunjukkan
coordinated gair or trunk movement yang
buruk
e. Kerusakan ekspresi dan penerimaan
perkembangan bahasa yang parah dengan retardasi psikomotor yang parah.
Gangguan ini lebih jarang
dijumpai jika dibandingkan dengan autisme dan merupakan gangguan perkembangan
neurologis yang parah. Selain itu, gangguan ini lebih sering ditemui pada anak
perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
3.
Childhood
Disintegrative Disorder
Gangguan ini sering disebut sebagai Heller’s
Disease, yaitu anak-anak yang kehilangan kemampuan utama yang telah
dikuasai sebelumnya pada usia 10 tahun. Berikut adalah karakter dari gangguan
ini:
a. Kerusakan
interaksi sosial secara kualitatif
b. Kerusakan
komunikasi secara kualitatif
c. Memiliki pola perilaku, ketertarikan dan
aktifitas yang terbatas, berulang dan stereotipe, termasuk stereotipe motorik
dan mannerisms
4.
Pervasive
Developmental Disorder Not Otherwise Specified (NOS)
PDD-NOS adalah kategori terakhir apabila anak tidak menunjukkan gejala
PDD, skizofrenia atau gangguan lainnya. PDD-NOS lebih baik disebut sebagai
autisme atipikal, sejak kategori ini biasa digunakan bagi anak-anak yang tidak
dapat mencapai kriteria autisme karena muncul pada usia yang cukup tua, gejala
atipikal, subthreshold symptoms, atau
kombinasi dari gejala-gejala lainnya.
PREVALANSI
Autisme
merupakan sebuah gangguan yang cukup jarang ditemui dengan perbandingan 15
hingga 20 orang penderita berbanding 10.000. Namun, penderita autisme mungkin
akan bertambah lebih banyak mengingat diagnosis gangguan ini terus diperbaharui
dan diperbanyak, terutama mengenai gangguan autisme yang ringan.
Autisme
lebih banyak diderita oleh anak laki-laki hingga 3 sampai 4 kali lebih besar
daripada perempuan. Selain itu, IQ pada anak-anak tersebut kebanyakan berkisar
pada interval normal daripada mereka yang memiliki IQ mental retardation.
AGE ONSET
Usia dimana gejala autisme pertama kali muncul
hingga sekarang belum dapat dipastikan. Kebanyakan orang tua dari individu yang
menderita autisme baru menyadari gangguan ini secara serius ketika anak kedua
mereka lahir. Pada saat itu, orang tua baru menyadari perbedaan perkembangan
yang signifikan dari dua orang anak yang memiliki usia berdekatan. Walaupun
gangguan autisme dapat disadari dengan jelas pada usia 2 tahun, gangguan ini
juga mulai dapat diidentifikasi pada usia 1 tahun, tergantung kepekaan dari
orang tua terhadap ekspresi anak.
COURSE AND OUTCOME
Anak-anak
yang menderita gangguan autisme memliki perkembangan yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Seiring dengan pertambahan usia, anak tersebut ada yang
berkembang menjadi seperti anak-anak normal lainnya, namun ada juga yang masih
kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri. Hal ini tergantung dari tingkat
intelegensi serta treatment yang
diterima dari anak tersebut.
Penelitian
menyatakan bahwa hanya 1% hingga 2% anak-anak penderita autisme yang tidak
mendapatkan pertolongan ahli bisa berkembang menjadi seperti anak-anak normal.
Dan hanya 10% dari anak-anak penderita autisme yang memiliki hasil yang baik,
maksudnya mencapai hampir normal di dalam fungsi sosial dan komunikasi. 20%
lainnya mencapai hasil yang biasa saja, artinya mau terlibat dalam lingkungan
sosial dan menerima pendidikan yang baik, namun masih kurang dapat
berkomunikasi dengan baik. Sisanya (sekitar 70 %) menunjukkan hasil yang buruk,
artinya mereka tidak dapat berfungsi secara normal dan mandiri.
PENYEBAB AUTISME
Penyebab
autisme pada setiap anak berbeda-beda, namun, secara keseluruhan, berikut
penyebab terjadinya gangguan autisme pada anak:
Masalah selama kehamilan dan kelahiran
Anak-anak
penderita autisme mengalami lebih banyak masalah kesehatan pada saat masa
kehamilan hingga kelahiran, bahkan setelah kelahiran dibandingkan dengan
anak-anak normal. Faktor-faktor berbahaya seperti usia ibu saat hamil,
kelahiran prematur, pendarahan saat kehamilan, toksemia (keracunan darah),
infeksi viral atau exposure dan
kekurangan vigor setelah kelahiran
diidentifikasi sebanyak 25% merupakan penyebab gangguan autisme. Namun, tidak
selamanya hal ini berlaku bagi anak-anak yang menderita gangguan autisme.
Kontribusi
genetik
1. Specific disorders
Sekitar 10% anak-anak yang
menderita autisme memiliki kondisi medis yang teridentifikasi. Ditemukan bahwa fragile-X anomaly berpengaruh terhadap
gangguan autisme. Selain itu, terdapat kelainan kromosom yang ditemukan pada
penderita gangguan ini.
Di samping itu, laporan
kilinis memperkirakan penyebab autisme berhubungan dengan single-gene disorders seperti tuberous
sclerosis, sebuah kondisi yang diderita oleh 1 dari 7000 individu. Sekitar
25% anak-anak yang menderita tuberous
sclerosis juga menderita autisme dan
19% lainnya menunjukkan gejala seperti autisme.. Namun, seiring berjalannya
waktu, ditemukan bahwa kelainan otak pada penderita tuberous sclerosislah yang menyebabkan munculnya gangguan autisme.
2. Family risk
Ditemukan bahwa 3% hingga 7%
individu yang menderita autisme memiliki saudara kandung atau anggota keluarga
yang juga menderita autisme. Bahkan anak kembar yang berasal dari zigot yang
sama memiliki kemungkinan dari 40% hingga 90% menderita autisme jika saudara
kembarnya menderita gangguan ini.
Penemuan Nauropsikologis
Berikut adalah tabel yang menjelaskan bahwa
terdapat beberapa kerusakan di otak pada anak-anak penderita autisme:
Domain
|
Impaired Function
|
Spared Function
|
Intelegensi
|
Verbal, abstrak, sequential processing
|
Organisasi visuospasial
|
Atensi
|
Orientasi, atensi
selektif, shifting/disengaging
|
Sustained
Attention
|
Memori
(Higher
functioning)
|
Mild
Long Term Memory, terutama
untuk informasi kompleks
Strategi untuk encoding informasi kompleks
Informasi abstrak, sequential
|
Paired
associate learning
Auditory
rote memory
Cued
recall
|
Memori
(Lower
functioning)
|
Short
dan Long term memory
Declarative
memory
|
Disrimination
Learning
Operant
Learning
|
Bahasa
(Higher
functioning)
|
Pragmatics
Intonasi, penekanan, ritme
Comprehension
of complex verbal information
|
Fonologi
Syntax
|
Bahasa
(Lower
functioning)
|
Severe
expressive and receptive language (e.g., mutism)
|
|
Fungsi eksekutif
|
Working
Memory
Inhibisi
Planning/organization
Flexibility/set
shifting
|
Faktor Neurobiologis
Anak-anak
yang menderita autisme ternyata memiliki keabnormalan pada otak, terutama pada
bagian cerebellum dan medial temproal lobe yang berhubungan
dengan sistem limbik.
Penemuan neuropsikologi dan neurochemical
Terdapat
keabnormalan penyampaian neurotransmitter pada bagian-bagian tertentu di otak
yang mengakibatkan terjadinya gangguan autisme. Sampai sekarang belum ditemukan
penyebab utama mengapa terjadi ketidaknormalan ini.
Autism as a Disorder of Brain Development
Pada dasarnya, penyebab utama
terjadinya gangguan autisme adalah akibat terganggunya proses perkembangan pada
otak. Hal ini menyebabkan
terganggunya proses pengolahan informasi di otak. Ditengarai bahwa kerusakan
sosial dan komunikasi para penderita autisme disebabkan akibat perkembangan
otak yang tidak normal.
TREATMENT
Setiap anak yang menderita autisme
bereaksi secara berbeda terhadap setiap treatment
yang diberikan, terutama antara anak yang memiliki low-functioning dengan anak yang memiliki high fucntioning, sehingga pemberi treatment harus jeli dan pintar dalam menerapkan teknik treatment kepada anak.
Treatment for Low Functioning Children
Anak-anak
penderita gangguan autisme dan memiliki retardasi mental (dari ringan hingga
parah) biasanya membutuhkan supervisi yang menetap untuk kehidupan kerja dan
sehari-hari. Prognosis bagi anak-anak dalam kategori ini sangat buruh, terutama
bagi mereka yang pada usia 5 tahun belum dapat bercakap-cakap bahkan berbicara,
memiliki kerusakan sosial, dan menunjukkan petunjuk masalah neurologis yang
jelas, memiliki kelainan kromosom, atau memiliki keterlambatan yang signifikan
pada perkembangan motoriknya. Treatment
untuk anak-anak yang memiliki low
functioning secara umum meliputi mengeliminasi tindakan berbahaya dan
mmbantu perkembangan kemampuan anak, membantu anak mengikuti peraturan dan
permintaan orang lain, perilaku emosional dan sosial yang dasar,
mengkomunikasikan kebutuhan, dan bermain dengan baik dan benar. Jika anak
tersebut telah beranjak dewasa, maka treatment
selanjutnya adalah mengajarkan individu untuk dapat menguasai kemampuan
yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari dan pekerjaan.
Treatment
for High Functioning Children
Tidak seperti pada low functioning children, tingkat
prognosis pada high functioning children jauh
lebih baik. Bahkan tidak jarang anak
tersebut dapat hidup dalam kondisi yang normal, terutama apabila mereka
diintervensi sejak dini. Treatment
yang diberikan bagi anak-anak yang memiliki high
functioning antara lain bertujuan untuk memperlancar kemampuan bahasa anak,
interaksi sosial yang sesuai dengan usianya dengan kelompok yang terdiri dari
anak normal dan perilaku serta kemampuan yang dibutuhkan pada TK ataupun SD.
Selain itu, keterlibatan orang tua di dalam pemberian treatment bagi anak adalah hal yang wajar. Hal ini dikarenakan
keterlibatan orang tua, lingkungan sekitar, dan kualitas pemberian treatment sangat menentukan keberhasilan
treatment tersebut.
Berikut adalah urutan treatment yang baik bagi anak-anak penderita autisme:
1.
Initial Stages of
Treatment
Membangun rapport yang baik
dengan anak.
Hal ini sangat dibutuhkan
untuk menentukan keberhasilan dari treatment
yang diberikan.
Mengajarkan kemampuan kesiapan
belajar pada anak
Tahap ini dapat dilakukan
dengan langkah kecil, seperti meminta anak untuk menatap pemberi treatment.
Menghilangkan atau menurunkan disruptive behavior pada anak
Anak-anak penderita autisme
seringkali menunjukkan sikap yang dapat mengganggu bahkan membahayakan
keselamatan dirinya sendiri, seperti berteriak, yelling, tantrum, melempar atau menghancurkan barang, menstimulasi
diri sendiri, menunjukkan agresi, serta melukai diri sendiri. Perilaku ini
perlu dihilangkan agar anak tersebut terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Teknik yang digunakan untuk tahap ini bermacam-macam, seperti
memberikan reward bagi perilaku yang
baik, mengabaikan perilaku anak, hingga memberikan hukuman ringan pada anak.
2.
Teaching
Appropriate Social Behavior
Mengajarkan imitasi dan pelajaran observasi
Mengekspresikan afeksi
Permainan sosial dan kemampuan
sosial kelompok
Peer-mediated interventions
Peer initiated procedures
Child
initiated procedures
Sibling
mediated procedures
3.
Teaching
Appropriate Communication Skills
Pelatihan percakapan operan
Imitasi verbal
Receptive labeling
Expressive
labeling
Incidental
teaching
Sign language traning
4.
Family
Intervention
Behavioral parent training
Konseling orang tua
Kesulitan emosional
Kesulitan interpersonal
5.
Intervensi awal
Preschool programs
Home-based programs
6.
Educational
Interventions
7.
Psychopharmachological/Somatic
Interventions
DAFTAR PUSTAKA
Mash, E.J,
Wolfe, D.A. 1999. Abnormal Child
Psychology. USA: Wadsworth Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar