Rabu, 03 Agustus 2016

AUTISME



Autisme merupakan salah satu dari Pervasive developmental disorders (PDDs) yang paling sering ditemui. Karakteristik dari PDDs adalah kerusakan yang parah dan menyebar pada interaksi sosial dan kemampuan berkomunikasi, dan pola perilaku, ketertarikan dan aktifitas tertentu dan khusus.
Autisme merupakan salah satu gangguan yang cukup parah yang bercirikan keabnormalan di dalam fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, dan dengan ketertarikan dan perilaku yang tidak biasa. Gangguan ini mengakibatkan aspek-aspek interaksi anak dengan lingkungan di sekitarnya turut terganggu.

SEJARAH AUTISME
Istilah autisme pertama kali dikemukakan oleh seorang psikiater yang berasal dari Swiss, bernama Eugen Bleuler pada tahun 1911. Saat itu istilah autisme digunakan untuk mendeskripsikan pasien-pasien yang menderita schizophrenia, namun masih memiliki kontak dengan realitas.
Pada awal tahun 1940an dua orang psikiater, Leo Kanner dan Hans Asperger, secara terpisah menggambarkan anak-anak yang memunculkan kerusakan sosial, keanehan berbahasa dan ketertarikan kepada hal yang tidak biasa. Anak-anak tersebut juga kehilangan kontak dengan realitas, namun tidak menderita schizophrenia. Kanner menggambarkan 11 orang anak-anak, yang di tahun-tahun awal kehidupannya, menghindari kontak mata, kekurangan kesadaran sosial, memiliki keterlambatan bahkan tidak memiliki bahasa, dan menunjukkan kekhususan aktifitas motorik, termasuk obsesi untuk memaksakan preservation of sameness. Para orang tua menyebutkan keluhan bahwa anak mereka berada di dalam “dunia lain”.
Kanner menyebut gangguan ini dengan sebutan early infantile autism (autism = ‘within oneself’). Menurut Kanner, anak-anak yang menderita gangguan ini tidak dapat menghubungkan dirinya secara normal dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya sejak saat awal kehidupan. Kanner juga menyebutkan bahwa terdapat sebuah “extreme autistic aloneness”, dimana anak-anak yang menderita gangguan ini seperti menutup diri secara utuh dari dunia luar. Gangguan ini biasanya dimunculkan oleh anak sejak saat lahir dengan ciri-ciri tidak mampu untuk membentuk hubungan cinta kasih dengan orang lain (termasuk orang tua).
Kanner juga menggambarkan para orang tua yang memiliki anak autis bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat cerdas dan terobsesi. Di samping itu mereka juga dingin, mekanis dan memisahkan diri dari sebuah hubungan. Kanner menyebut para orang tua tersebut dengan sebutan “refrigerator parents”. Oleh karena itu, walaupun autisme merupakan seubah kekurangan sejak lahir, namun gangguan ini sudah tertanam dalam diri penderitanya secara genetik, dimana para orang tua tidak menginginkan keberadaan anaknya. Namun pernyataan Kanner mengenai hal ini tidak didukung oleh bukti-bukti nyata.
Kenyataannya, autisme bukanlah merupakan akibat dari orang tua yang tidak menginginkan kehadiran anaknya, melainkan akibat ketidakberhasilan anak dalam memasuki realitas karena terganggunya tahap perkembangan secara serius. Karena tulisan asli Kanner mengenai gangguan ini sudah berumur lebih dari 50 tahun, pada perkembangannya autisme dikenal sebagai gangguan yang didasari oleh gangguan biologis sehingga menyebabkan gangguan perkembangan pada tahun pertama kehidupan anak.

KARAKTERISTIK UTAMA AUTISME
Karakteristik utama yang terdapat di dalam gangguan autisme bukan merupakan karakter yang terpisah, melainkan berkaitan satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain karakter yang satu mempengaruhi karakter yang lainnya. Karakter utama tersebut antara lain kerusakan sosial, kerusakan komunikasi dan perilaku dan ketertarikan yang berulang.

Kerusakan Sosial
Anak-anak yang menderita autisme memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain. Sejak usia yang sangat belia, mereka menunjukan banyak kekurangan di dalam kemampuan yang sangat penting untuk awal perkembanan sosial, seperti mengimitasi orang lain, berorientasi pada stimulus sosial, membagi gokus atensi dengan orang lain, memahami emosi orang lain, dan terlibat di dalam sebuah permainan yang mengasah kepercayaan kepada orang lain. Seiring dengan pertumbuhannya, anak-anak penderita autisme hanya memiliki perilaku sosial yang sangat minim dan terlihat tidak responsif terhadap perasaan orang lain. Ekspresi sosial dan kesensitifan terhadap petunjuk sosial dari orang lain sangant terbatas dan rasa berbagi perasaan ataupun pengalaman yang ada di dalam diri anak sangat sedikit. Anak-anak penderita autisme pada umumnya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam berintegrasi sosial, berkomunikasi dan mengekspresikan perilaku emosional, yang sangat dibutuhkan untuk menyambut orang lain yang memasuki ruangan tempat dirinya berada. Oleh karena itu mereka memperlakukan orang lain sebagai sebuah objek, bukan manusia.
Anak-anak penderita autisme memunculkan kerusakan di semua aspek “joint social attention”, yaitu kemampuan untuk mengkoordinasikan fokus perhatian kepada orang lain dan sebuah objek sebagai ketertarikan yang saling menguntungkan. Joint social attention biasanya sudah terbentuk saat usia 12 sampai 15 bulan, termasuk menunjukkan perhatian terhadap objek ataupun orang dengan cara menunjuk, memperlihatkan, melihat dan berkomunikasi untuk berbagi ketertarikan. Walaupun para penderita autisme dapat membawakan sebuah benda kepada orang lain ataupun menunjuk sebuah objek ketika mereka menginginkan orang lain untuk melakukan sesuatu, mereka hanya menunjukkan sedikit ketertarikan dan kesenangan ketika melakukan hal-hal tersebut.
Anak-anak yang menderita autisme memproses informasi sosial dengan cara yang tidak biasa. Di usia muda, mereka memiliki kesulitan yang melebihi anak-anak lain dalam hal mengimitasi gerakan tubuh maupun mainan, atau mengorientasikan stimulus sosial atau stimulus non sosial. Selain itu, di dalam memproses informasi mengenai wajah manusia, mereka lebuh terfokus kepada bagian-bagian tertentu dari wajah, seperti hidung, mulut, mata; daripada melihatnya sebagai satu kesatuan.
Walaupun demikian, kebanyakan anak-anak yang menderita autisme masih dapat memberikan respon yang berbeda terhadap orang yang merawatnya dengan orang asing. Oleh karenanya anak-anak yang menderita autisme tidak mengalami defisit dalam membentuk sebuah kedekatan atau attachment melainkan kurang mampu memahami dan merespon suatu informasi sosial.
Ketidak mampuan memproses suatu informasi sosial mengakibatkan anak-anak penderita autisme juga memiliki masalah dalam memproses informasi emosional yang terdiri dari bahasa tubuh, gesture, ekspresi wajah maupun suara. Hal ini membuat anak-anak penderita autisme memiliki ekspresi emosi yang berbeda dengan anak-anak normal, seperti terbatasnya gerakan-gerakan spontan, bizarre, kaku ataupun ekspresi wajah yang mekanis. Walaupun demikian, masih belum diketahui apakah para penderita autisme mengalami sebuah emosi secara berbeda dibandingkan anak-anak lain.
Kesulitan-kesulitan di atas biasanya akan terus dialami oleh para penderita autisme seiring dengan bertambahnya usia.

Kerusakan Komunikasi
Anak-anak yang menderita autisme menunjukkan abnormalitas yang serius di dalam komunikasi dan bahasa yang muncul di awal kehidupan dan berlanjut dari waktu ke waktu. Hal ini turut dipengaruhi oleh kerusakan sosial yang dialami oleh penderita autisme.
Salah satu tanda awal dari kerusakan bahasa yang dialami anak-anak penderita autisme adalah ketidak konsistenan mereka dalam menggunakan komunikasi preverbal awal. Contohnya, seorang anak penderita autisme dapat menunjuk seekor binatang yang ia inginkan, namun berada di luar jangkauannya. Dengan melakukan hal tersebut, anak tersebut sudah menunjukkan penggunaan protoimperative gestures, yaitu vokalisasi yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah kebutuhan. Namun, anak ini tidak akan berhasil melakukan protodeclarative gestures, yaitu vokalisasi yang digunakan untuk menunjukkan atensi visual dari orang lain terhadap sebuah objek ataupun berbagi ketertarikan. Tujuan utama dari protodeclarative gestures adalah untuk melibatkan orang lain di dalam sebuah interaksi. Penggunaan protodeclarative gestures membutuhkan rasa ingin berbagi dalam hal atensi sosial dan pemahaman yang implisit tentang apa yang dipikirkan orang lain. Kemampuan ini kurang dimiliki oleh anak-anak penderita autisme. Selain itu, anak-anak penderita autisme juga kurang mampu menggunakan showing gesture, yang biasa digunakan anak-anak untuk mengungkapkan ketertarikan terhadap suatu hal, seperti saat menerima mainan baru.
Anak-anak yang menderita autisme juga biasanya jarang menggunakan bahasa untuk mengungkapkan apa yang ia inginkan. Mereka biasanya menggunakan bahasa primitif seperti instrumental gesture untuk membuat orang lain untuk melakukan sesuatu. Selain itu, mereka juga biasanya tidak menggunakan espressive gestures dalam mengungkapkan perasaan mereka. Hal ini bisa dikaitkan dengan kelainan pada gerakan motorik yang terdapat di wajah, khususnya mulut serta intelegensi verbal yang kurang memadai pada anak-anak penderita autisme. Biasanya kesulitan berbahasa ini terjadi hingga usia 5 tahun. Oleh karenanya, anak-anak penderita autisme memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
 Walaupun hampir seluruh penderita autisme mengalami keterlambatan bahasa, penggunaan bahasa-bahasa “menyimpang”lah yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua. Anak-anak penderita autisme umumnya menggunakan kata-kata yang kurang relevan dengan konteks pembicaraan dan kata-kata tersebut sulit dikonfirmasi apa maksudnya. Mereka menggunakan bahasa yang konkret dan spesifik, namun berdasarkan pengalaman pribadi sehingga maksudnya pun sangat personal.
Akibat pemakaian bahasa verbal yang tidak biasa tersebut, biasanya anak-anak yang menderita autisme juga mengalami pronoun reverals dan echolalia. Pronoun reverals terjadi saat anak mengulang personal pronouns tepat seperti apa yang ia dengar. Contohnya, “Siapa nama kamu?” anak-anak autisme akan menjawab pertanyaan ini dengan, “Nama kamu Jen”. Sedangkan echolalia merujuk kepada jawaban anak yang seperti “membeo” ketika ditanya. Contohnya, “Apakah kamu sudah makan?” anak tersebut akan menjawab, “Apakah kamu sudah makan?” Di samping itu, anak-anak penderita autisme juga dapat memunculkan perseverative speech, yaitu membicarakan topik yang sama secara terus menerus.
Para anak pengidap autisme menunjukkan kerusakan pada kemampuan pragmatics, yaitu kemampuan menggunakan bahasa yang tepat di dalam sebuah konteks komunikasi dan sosial. Contohnya, ketika ada telepon yang sedang berdering, anak autisme diminta untuk mengangkat telepon tersebut. Namun ternyata anak tersebut hanya menjawab “oke” tanpa mengangkat telepon. Hal ini disebabkan karena anak tersebut tidak memahami konteks sosial di mana jika telepon berdering, maka telepon tersebut perlu untuk diangkat. Bahkan anak-anak penderita autisme yang sudah menguasai tata bahasa dan memiliki vocabulary yang baik, kesulitan dalam kemampuan pragmatics tetap muncul.
Selain itu, anak-anak penderita autisme juga gagal untuk berbicara dengan intonasi ataupun kualitas suara yang tepat. Hasilnya, mereka tidak dapat membedakan kapan harus menggunakan intonasi suara dengan keras, dan kapan harus menggunakan intonasi suara dengan lembut. Hal ini mungkin berkaitan dengan sedikitnya ketertarikan mereka untuk mendengarkan orang-orang yang berada di sekitarnya.

Perilaku dan Ketertarikan yang Berulang
Anak-anak yang menderita autisme memiliki self-stimulatory behaviors, yaitu gerakan atau pergerakan badan yang berulang terhadap sebuah atau beberapa objek. Walaupun perilaku ini juga muncul pada anak-anak yang menderita gangguan mental lainnya, pada penderita autisme, perilaku ini bersifat menetap (dari kecil hingga dewasa).
Berikut adalah bentuk self-stimulatory behaviors yang sering ditemui pada anak-anak yang menderita autisme:
a.       Visual: kedipan mata yang berulang, menatap pada cahaya (lampu), bertepuk tangan, menggerakkan jari di depan mata.
b.      Auditory: menjentikkan jari, membuat suara vokal, tapping ears, memutar benda di meja.
c.       Tactile: menggaruk, mengusap kulit dengan tangan atau benda lain.
d.      Vestibular: berguling dari depan ke belakang, berguling dari sisi ke sisi.
e.       Taste: menempatkan bagian tubuh atau benda lain ke dalam mulut, menjliat benda.
f.       Smell: mencium benda, mengendus orang lain.
Penyebab dari perikau dan ketertarikan yang berulang pada anak-anak penderita autisme sampai sekarang masih belum diketahui. Beberapa ahli menyebut bahwa alasan anak-anak autisme berperilaku demikian adalah untuk menstimulasi diri mereka sendiri untuk menarik sistem saraf mereka (kurangnya stimulus dari lingkungan). Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penyebab perilaku berulang tersebut adalah untuk mengatasi stimulus lingkungan yang berlebih.

KARAKTER-KARAKTER YANG BERHUBUNGAN DENGAN AUTISME

Intelectual Deficits and Strengths
            Anak-anak yang menderita autisme memiliki rentang intelegensi yang bervariasi, dari retardasi mental sampai superior. Walaupun anak-anak yang memiliki kemampuan superior seringkali disorot oleh media masa, namun pada kenyataannya sekitar 80% anak-anak penderita autisme juga memiliki retardasi mental. 60% dari mereka memiliki IQ kurang dari 50% dan 20% memiliki IQ antara 50 sampai 70. Sedangkan 20% memiliki IQ rata-rata dan di atas rata-rata.
            Kerusakan sosial yang dialami oleh anak-anak penderita autisme lebih sering dialami oleh mereka yang memiliki level terendah dari fungsi intelektual. Namun, tidak seperti anak-anak penderita retardasi mental yang memperlihatkan keterlambatan di hampir seluruh area dari fungsi mental, anak-anak penderita autisme yang memiliki IQ kurang dari 70 yang menjalani tes intelegensi menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang baik di beberapa subtes. Namun, rata-rata penderita autisme memiliki skor yang rendah pada subtes social comprehension dan rata-rata memiliki skor relatif tinggi pada nonverbal Digit Span dan Block Design (subtes yang dimiliki oleh Weschler Intelligence Scale).
            Kemampuan intelektual yang rendah pada anak-anak penderita autisme pada umumnya berhubungan dengan hasil jangka panjang yang rendah dan hanya mereka yang memiliki kemampuan intelegensi rata-rata atau lebih yang dapat mencapai status mandiri pada saat dewasa. Skor IQ pada anak-anak penderita autisme biasanya bersifat stabil dari waktu ke waktu dan merupakan prediktor yang baik bagi tingkat pencapaian hasil pendidikan. Namun, intervensi awal dapat meningkatkan kemampuan intelegensi pada anak-anak penderita autisme.
            Di samping kemampuan intelegensi yang kurang, anak-anak penderita autisme memiliki splinter skill atau islets of ability. Kemampuan spesial mereka antara lain mengeja, membaca, aritmatika, musik atau menggambar. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh setiap anak penderita autisme, namun sering ditemui pada anak penderita autisme.
            Selain itu, sekitar 5% anak penderita autisme memiliki autistic savants, yaitu kemampuan supernormal di dalam beberapa area, seperti kalkulasi, memori, jigsaw puzzles, musik ataupun menggambar, melebihi ana-anak normal sekalipun. Kemampuan ini tidak terbatas pada penderita autisme yang memiliki IQ rata-rata atau lebih namun juga dimiliki oleh penderita yang memiliki IQ di bawah 70. Hal ini dipengaruhi oleh salah satu karakter khusus yang dimiliki oleh anak-anak penderita autisme, yaitu kebiasaan dan ketertarikan yang berulang. Selain itu, perlu diingat bahwa para penderita autisme memiliki kecenderungan untuk menerima informasi secara segmentasi (per bagian) daripada secara keseluruhan. Hal ini membawa mereka memiliki kemampuan yang bersifat pengecualian di beberapa domain. Selain itu anak-anak penderita autisme juga lebih berpikir berdasarkan gambar (image) dibandingkan dengan ide abstrak sehingga membuat mereka dapat mengingat materi secara sistem kamera atau recorderlike fashion. Sayangnya, kemampuan ini jarang sekali dimanfaatkan oleh para penderita autisme untuk kehidupannya sehari-hari.

Sensory and Perceptual Impairments
            Kebanyakan pengliahtan, suara, bau ataupun tekstur yang tidak mengganggu kebanyakan anak normal dapat menjadi membingungkan bahkan menyakitkan bagi anak-anak penderita autisme. Seorang anak penderita autisme dapat menyadari bahwa bereaksi terhadap suara seseorang yang spesifik sekeras teriakan, sentuhan tangan yang lembut dapat menimbulkan rasa sakit ataupun suara dering telepon dapat menjadi suara yang memekakkan telinga. Hal ini berkaitan dengan kemampuan yang terlalu sensitif pada anak-anak penderita autisme terhadap stimulus tertentu, overselective dan kerusakan pergantian atensi terhadap input sensori dan kerusakan terhadap mixing across sensory modalities, contohnya secara terus menerus melihat sebuah pergerakan dan mendengarkan suara tepuk tangan seseorang.
            Teori awal mengenai sutisme terhadap keterkaitan dengan sensory and perceptual deficit antara lain sensory dominance dan stimulus overselectivity. Sensory dominance adalah kecenderungan untuk fokus terhadap tipe-tipe input sensori tertentu daripada orang lain. Contohnya, lebih fokus terhadap suara daripada penglihatan. Sedangkan stimulus overselctivity adalah kecenderungan untuk fokus terhadap fitur-fitur dari sebuah objek atau kejadian di dalam lingkungan, namun pada saat yang bersamaan mengabaikan fitur-fitur penting lainnya. Contohnya, pada saat ibu berkata, “Ayo ke sini…” anak penderita autis bisa hanya terfokus kepada gerakan bibir dari ibunya tanpa mendengarkan suara perintah ibunya. Hal ini juga dapat berpengaruh terhadap proses belajar pada anak. Misalnya, ketika dihadapkan pada pelajaran membedakan mobil merah dan truk biru, anak penderita autisme akan menghadapi kesulitan untuk membedakan warna dan jenis mobil sekaligus. Anak tersebut mungkin dapat membedakan warna, namun pada saat yang bersamaan ia tidak dapat membedakan bentuk dari mobil dan truk. Hal ini tentu dapat menyulitkan anak-anak untuk menghadapi kehidupannya di luar rumah, terutama ketika ia harus menggunakan kendaraan umum.

Cognitive Deficits
            Selain kedua karakter di atas, anak-anak penderita autisme juga memiliki keterbatasan kognisi.
1.      Specific Deficits
Proses pemahaman sosial, emosi, informasi personal seperti ekspresi emosi, facial cues, dan internal mental states pada anak-anak penderita autisme memang kurang jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Hal ini dapat menjelaskan perilaku sosial yang aneh pada anak-anak yang menderita autisme. Mereka memiliki keterbatasan dan kesulitan dalam memahami keadaan sosial sehingga terjadi “kerusakan” interaksi sosial dalam diri mereka.
Selain itu, anak-anak penderita autisme tidak dapat memahami permainan yang bersifat “pura-pura”. Contohnya, pada saat bermain boneka, anak yang normal mengerti cara menyuapi bonekanya yaitu dengan menggunakan sendok mainan dan “makanan bohongan” ke dalam mulut boneka, namun anak penderita autisme tidak memahami hal ini, bahkan anak tersebut dapat memutar-mutar sendok mainan secara berulang tanpa menggubris keberadaan si boneka. Hal ini berkaitan dengan sebuah hipotesis bahwa anak-anak penderita autisme memiliki kerusakan pemahaman terhadap mental states dirinya dan orang lain yang tidak dapat dilihat secara langsung, seperti kepercayaan dan keinginan. Hal ini didukung oleh theory of mind (ToM) yang memiliki premis kemampuan manusia membaca intensi, kepercayaan, perasaan dan keinginan orang lain berdasarkan perilaku eksternal mereka memiliki dampak besar untuk bertahan hidup dari sebuah evolusi. ToM menyatakan bahwa semua orang, secara alami adalah pembaca pikiran (mind readers). Dan manusia melakukan hal ini secara otomatis dan mengeluarkan sedikit usaha. Anak-anak yang menderita autisme kurang memiliki premis yang dinyatakan oleh ToM sehingga mereka kurang dan bahkan tidak dapat membaca pikiran orang lain. Dan hal ini dapat menjadi sangat membingungkan, misterius, bahkan menakutkan bagi anak-anak penderita autisme. Anak-anak dengan ToM deficits dapat mempelajari, mengingat dan mengetahui hal-hal tentang dunia sosial, namun kurang dapat memahami pengertian dunia sosial tersebut. Namun perlu diingat bahwa ToM deficits tidak dialami oleh semua anak-anak penderita autisme, namun sering dijumpai pada anak-anak penderita autisme.

2.      General Deficits
Pada umumnya, anak-anak penderita autisme memiliki kekurangan pada higher order planning dan regulatoru behavior atau yang biasa disebut sebagai sexecutive functions yang berlokasi di bagian frontal otak. Fungsi eksekutif berfungsi untuk melakukan problen-solving framework yang efektif dengan cara mengelminir perliaku yang tidak sesuai, terlibat di dalam aksi yang telah dipikirkan matang-matang, mempertahankan bahkan meningkatkan task performance, self-monitoring, menggunakan umpan balik, dan fleksibel dalam memindahkan perhatian dari satu tugas ke tugas lainnya. Anak-anak penderita autisme memiliki kesulitan di dalam membuat rencana dan mengorganisir, berpindah atau berubah ke sebuah set kognitif yang baru, tidak terlibat dalam sebuah stimulus penting, memproses informasi secara berbeda, lingkungan yang tidak dapat diprediksi dan menggeneralisasikan informasi yang telah dipelajari sebelumnya ke dalam situasi baru.
Selain itu, anak-anak penderita autisme juga memiliki keinginan yang lemah untuk central coherence, yang mengacu kepada keinginan kuat manusia untuk menginterpretasi stimulus dengan cara yang relatif umum yang melibatkan konteks yang lebih luas ke dalam sebuah cara yang spesifik. Dengan melakukan central coherence kita dimungkinkan untuk membuat sebuat makna dari berbagai macam set informasi yang kompleks serta mengingat nilai-nilai utamanya daripada detailnya secara tepat. Hal ini juga dapat menyebabkan kerusakan komunikasi bagi anak-anak penderita autisme.

Physical Characteristics
            Sekitar 20% hingga 30% dari anak-anak autisme juga menderita epilepsy. Kebalikannya, individu yang menerita retardasi mental, dimana epilepsi biasanya terjadi pada usia muda, individu yang menderita autisme memperlihatkan kemunculan epilepsi yang relatif tinggi pada usia remaja akhir hingga dewasa muda.
            Di samping itu, penderita autisme memiliki penampilan fisik yang normal bahkan memikat. Hal ini menjelaskan bahwa anak-anak penderita autisme tidak memiliki deviasi pada penampilan fisik seperti pada penderita retardasi mendal yang tidak berhubungan dengan autisme. Anak-anak yang menderita autisme lebih memperlihatkan minor physical anomalies seperti wajah yang asimetris. Hal ini dipengaruhi oleh sifat genetis atau faktor-faktor prenatal lainnya di dalam autisme.
            Kanner (1943) mencatat bahwa 5 dari 11 anak yang telah ia observasi memiliki kepala yang relatif besar. Observasi ini konsisten dengan beberapa laporan yang menyatakan bahwa 25% individu penderita autisme memiliki lingkar kepala yang lebih besar dibandingkan dengan orang biasa hingga 3% besarnya.

Characteristics of Family Members
            Kanner mengobservasi bahwa orang tua dari seluruh anak penderita autisme yang ia pelajari (11 orang) adalah individu yang memiliki intelegensi yang cukup tinggi. Namun hal ini tidak apat digeneralisasikan ke dalam populasi yang besar, sebab ternyata sampel yang digunakan Kanner tidak merepresentasikan populasi. Selain itu, ada anggapan yang populer bahwa autisme biasanya diderita oleh anak-anak dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas, namun hal ini tidak terbukti secara signifikan, terutama apabila penelitian menggunakan kriteria kontemporer dalam membuat diagnosa.

Similar Deficits in Relatives
Kembar identik, saudara kandung dan orang tua yang tidak menderita autisme, khususnya pria, yang dimiliki oleh individu penderita autisme biasanya memiliki kekurangan di dalam komprehensi verbal dan kognisi, namun tidak separah penderita autisme. Hal ini menjadi resiko tersendiri untuk menghasilkan individu autistik sebagai akibat dari keturunan atau genetik.

Affective Disorder in Relatives
            Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara kelainan afeksi pada keluarga dengan penderita autisme. Selain itu gangguan yang sering terdapat di dalam keluarga individu penderita autisme yang tidak memiliki retardasi mental adalah fobia sosial. Selain itu, kesiapan dan prioritas memiliki anak diperkirakan juga terkait dengan gangguan autisme. Hal ini berhubungan dengan afeksi yang diberikan orang tua terhadap anak mereka. Namun, hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut lagi.

Stress in Home
            Kehidupan bagi orang tua yang memiliki anak yang menderita autisme dapat sangat kacau dan melelahkan. Hal ini dapat menjadi stressor tersendiri bagi orang tua sehingga orang tua kesulitan untuk mengendalikan diri sendiri dan anak mereka yang menderita autisme. Mereka juga seringkali malu dan kurang dapat menerima keadaan anak mereka sehingga tidak jarang mereka menghindari untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

SUBTIPE AUTISME
            Lorna Wing mengkategorikan autisme ke dalam 3 buah subtype, antara lain:
1.      Aloof.
Anak jarang memunculkan kedekatan sosial secara spontan terhadap orang lain, kecuali untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan, dan cenderung untuk menolak kontak fisik dan sosial secara sukarela.
2.      Passive.
Anak memunculkan kekurangan kedekatan sosial secara spontan, tetapi mau terlibat dengan orang lain saat didekati dengan cara yang khusus, namun memerlukan interaksi terstruktur dengan orang lain.
3.      Active-but-odd.
Anak menunjukkan kemauan untuk mendekati orang lain, tetapi dengan cara yang aneh, naif atau one-sided manner.

ACCOMPANYING DISORDERS AND SYMPTOMS
            Gangguan yang biasanya menyertai autisme adalah epilepsi dan retardasi mental. Gejala-gejala psikiatrik dari anak-anak penderita autisme meliputi hiperaktifitas, obsesi ritual, perilaku yang bersifat stereotipe, kecemasan, ketakutan dan perilaku kompulsi. Beberapa anak yang mendertia autisme juga terlibat di dalam self-injurious behavior (SIB) yang ekstrim dan bahkan membahayakan, yaitu perbuatan yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh anak itu sendiri. Bentuk SIB yang sering dijumpai adalah membenturkan kepala, menggigit tangan atau lengan, dan excessive scratching and rubbing.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS AND OTHER PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDERS

1.    Asperger’s Disorder
Gangguan ini diungkapkan oleh Hans Asperger pada tahun 1944, yang menyebut gangguan ini dengan sebutan “autistic psychopathy”.
Perbedaan mendasar antara gangguan Asperger dengan autisme adalah anak-anak yang menderita gangguan ini memiliki verbal mental age yang lebih tinggi, keterlambatan bahasa yang lebih rendah, serta lebih menunjukkan ketertarikan kontak sosial dibandingkan dengan penderita autisme. Selain itu, gangguan ini biasanya muncul pada usia yang lebih tua dibandingkan dengan autisme.
Namun, terdapat beberapa persamaan gejala antara gangguan Asperger dengan autisme, antara lain sulit berinteraksi sosial, memiliki pola perilaku dan ketertarikan yang tidak biasa dengan kognisi dan kemampuan komunikasi yang cukup baik.
2.    Rett’s Disorder
Gangguan ini ditemukan oleh Andreas Rett di Vienna, Austria pada tahun1974. Karakter dari gangguan ini antara lain:
a.    pertumbuhan otak melambat antara usia 5 hingga 48 bulan.
b.    Kehilangan kemampuan tangan yang telah dipelajari antara 5 hingga 30 bulan dengan perkembangan pergerakan tangan yang stereotipe dan subsequent.
c.    Kehilangan keterlibatan sosial pada awal kemunculan (walaupun kebanyakan interaksi sosial terbentuk nantinya)
d.   Menunjukkan coordinated gair or trunk movement yang buruk
e.    Kerusakan ekspresi dan penerimaan perkembangan bahasa yang parah dengan retardasi psikomotor yang parah.
Gangguan ini lebih jarang dijumpai jika dibandingkan dengan autisme dan merupakan gangguan perkembangan neurologis yang parah. Selain itu, gangguan ini lebih sering ditemui pada anak perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
3.      Childhood Disintegrative Disorder
Gangguan ini sering disebut sebagai Heller’s Disease, yaitu anak-anak yang kehilangan kemampuan utama yang telah dikuasai sebelumnya pada usia 10 tahun. Berikut adalah karakter dari gangguan ini:
a.    Kerusakan interaksi sosial secara kualitatif
b.    Kerusakan komunikasi secara kualitatif
c.    Memiliki pola perilaku, ketertarikan dan aktifitas yang terbatas, berulang dan stereotipe, termasuk stereotipe motorik dan mannerisms
4.      Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (NOS)
PDD-NOS adalah kategori terakhir apabila anak tidak menunjukkan gejala PDD, skizofrenia atau gangguan lainnya. PDD-NOS lebih baik disebut sebagai autisme atipikal, sejak kategori ini biasa digunakan bagi anak-anak yang tidak dapat mencapai kriteria autisme karena muncul pada usia yang cukup tua, gejala atipikal, subthreshold symptoms, atau kombinasi dari gejala-gejala lainnya.

PREVALANSI
            Autisme merupakan sebuah gangguan yang cukup jarang ditemui dengan perbandingan 15 hingga 20 orang penderita berbanding 10.000. Namun, penderita autisme mungkin akan bertambah lebih banyak mengingat diagnosis gangguan ini terus diperbaharui dan diperbanyak, terutama mengenai gangguan autisme yang ringan.
            Autisme lebih banyak diderita oleh anak laki-laki hingga 3 sampai 4 kali lebih besar daripada perempuan. Selain itu, IQ pada anak-anak tersebut kebanyakan berkisar pada interval normal daripada mereka yang memiliki IQ mental retardation.

AGE ONSET
            Usia dimana gejala autisme pertama kali muncul hingga sekarang belum dapat dipastikan. Kebanyakan orang tua dari individu yang menderita autisme baru menyadari gangguan ini secara serius ketika anak kedua mereka lahir. Pada saat itu, orang tua baru menyadari perbedaan perkembangan yang signifikan dari dua orang anak yang memiliki usia berdekatan. Walaupun gangguan autisme dapat disadari dengan jelas pada usia 2 tahun, gangguan ini juga mulai dapat diidentifikasi pada usia 1 tahun, tergantung kepekaan dari orang tua terhadap ekspresi anak.

COURSE AND OUTCOME
            Anak-anak yang menderita gangguan autisme memliki perkembangan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Seiring dengan pertambahan usia, anak tersebut ada yang berkembang menjadi seperti anak-anak normal lainnya, namun ada juga yang masih kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri. Hal ini tergantung dari tingkat intelegensi serta treatment yang diterima dari anak tersebut.
            Penelitian menyatakan bahwa hanya 1% hingga 2% anak-anak penderita autisme yang tidak mendapatkan pertolongan ahli bisa berkembang menjadi seperti anak-anak normal. Dan hanya 10% dari anak-anak penderita autisme yang memiliki hasil yang baik, maksudnya mencapai hampir normal di dalam fungsi sosial dan komunikasi. 20% lainnya mencapai hasil yang biasa saja, artinya mau terlibat dalam lingkungan sosial dan menerima pendidikan yang baik, namun masih kurang dapat berkomunikasi dengan baik. Sisanya (sekitar 70 %) menunjukkan hasil yang buruk, artinya mereka tidak dapat berfungsi secara normal dan mandiri.

PENYEBAB AUTISME
            Penyebab autisme pada setiap anak berbeda-beda, namun, secara keseluruhan, berikut penyebab terjadinya gangguan autisme pada anak:

Masalah selama kehamilan dan kelahiran
            Anak-anak penderita autisme mengalami lebih banyak masalah kesehatan pada saat masa kehamilan hingga kelahiran, bahkan setelah kelahiran dibandingkan dengan anak-anak normal. Faktor-faktor berbahaya seperti usia ibu saat hamil, kelahiran prematur, pendarahan saat kehamilan, toksemia (keracunan darah), infeksi viral atau exposure dan kekurangan vigor setelah kelahiran diidentifikasi sebanyak 25% merupakan penyebab gangguan autisme. Namun, tidak selamanya hal ini berlaku bagi anak-anak yang menderita gangguan autisme.

Kontribusi genetik
1.      Specific disorders
Sekitar 10% anak-anak yang menderita autisme memiliki kondisi medis yang teridentifikasi. Ditemukan bahwa fragile-X anomaly berpengaruh terhadap gangguan autisme. Selain itu, terdapat kelainan kromosom yang ditemukan pada penderita gangguan ini.
Di samping itu, laporan kilinis memperkirakan penyebab autisme berhubungan dengan single-gene disorders seperti tuberous sclerosis, sebuah kondisi yang diderita oleh 1 dari 7000 individu. Sekitar 25% anak-anak yang menderita tuberous sclerosis juga menderita autisme  dan 19% lainnya menunjukkan gejala seperti autisme.. Namun, seiring berjalannya waktu, ditemukan bahwa kelainan otak pada penderita tuberous sclerosislah yang menyebabkan munculnya gangguan autisme.
2.      Family risk
Ditemukan bahwa 3% hingga 7% individu yang menderita autisme memiliki saudara kandung atau anggota keluarga yang juga menderita autisme. Bahkan anak kembar yang berasal dari zigot yang sama memiliki kemungkinan dari 40% hingga 90% menderita autisme jika saudara kembarnya menderita gangguan ini.

Penemuan Nauropsikologis
Berikut adalah tabel yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa kerusakan di otak pada anak-anak penderita autisme:
Domain
Impaired Function
Spared Function
Intelegensi
Verbal, abstrak, sequential processing
Organisasi visuospasial
Atensi
Orientasi, atensi selektif, shifting/disengaging
Sustained Attention
Memori
(Higher functioning)
Mild Long Term Memory, terutama untuk informasi kompleks
Strategi untuk encoding informasi kompleks
Informasi abstrak, sequential
Paired associate learning
Auditory rote memory
Cued recall
Memori
(Lower functioning)
Short dan Long term memory
Declarative memory
Disrimination Learning
Operant Learning
Bahasa
(Higher functioning)
Pragmatics
Intonasi, penekanan, ritme
Comprehension of complex verbal information
Fonologi
Syntax
Bahasa
(Lower functioning)
Severe expressive and receptive language (e.g., mutism)

Fungsi eksekutif
Working Memory
Inhibisi
Planning/organization
Flexibility/set shifting


Faktor Neurobiologis
            Anak-anak yang menderita autisme ternyata memiliki keabnormalan pada otak, terutama pada bagian cerebellum dan medial temproal lobe yang berhubungan dengan sistem limbik.

Penemuan neuropsikologi dan neurochemical
            Terdapat keabnormalan penyampaian neurotransmitter pada bagian-bagian tertentu di otak yang mengakibatkan terjadinya gangguan autisme. Sampai sekarang belum ditemukan penyebab utama mengapa terjadi ketidaknormalan ini.

Autism as a Disorder of Brain Development
            Pada dasarnya, penyebab utama terjadinya gangguan autisme adalah akibat terganggunya proses perkembangan pada otak. Hal ini menyebabkan terganggunya proses pengolahan informasi di otak. Ditengarai bahwa kerusakan sosial dan komunikasi para penderita autisme disebabkan akibat perkembangan otak yang tidak normal.

TREATMENT
            Setiap anak yang menderita autisme bereaksi secara berbeda terhadap setiap treatment yang diberikan, terutama antara anak yang memiliki low-functioning dengan anak yang memiliki high fucntioning, sehingga pemberi treatment harus jeli dan pintar dalam menerapkan teknik treatment kepada anak.

Treatment for Low Functioning Children
            Anak-anak penderita gangguan autisme dan memiliki retardasi mental (dari ringan hingga parah) biasanya membutuhkan supervisi yang menetap untuk kehidupan kerja dan sehari-hari. Prognosis bagi anak-anak dalam kategori ini sangat buruh, terutama bagi mereka yang pada usia 5 tahun belum dapat bercakap-cakap bahkan berbicara, memiliki kerusakan sosial, dan menunjukkan petunjuk masalah neurologis yang jelas, memiliki kelainan kromosom, atau memiliki keterlambatan yang signifikan pada perkembangan motoriknya. Treatment untuk anak-anak yang memiliki low functioning secara umum meliputi mengeliminasi tindakan berbahaya dan mmbantu perkembangan kemampuan anak, membantu anak mengikuti peraturan dan permintaan orang lain, perilaku emosional dan sosial yang dasar, mengkomunikasikan kebutuhan, dan bermain dengan baik dan benar. Jika anak tersebut telah beranjak dewasa, maka treatment selanjutnya adalah mengajarkan individu untuk dapat menguasai kemampuan yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari dan pekerjaan.

Treatment for High Functioning Children
            Tidak seperti pada low functioning children, tingkat prognosis pada high functioning children jauh lebih baik. Bahkan tidak jarang anak tersebut dapat hidup dalam kondisi yang normal, terutama apabila mereka diintervensi sejak dini. Treatment yang diberikan bagi anak-anak yang memiliki high functioning antara lain bertujuan untuk memperlancar kemampuan bahasa anak, interaksi sosial yang sesuai dengan usianya dengan kelompok yang terdiri dari anak normal dan perilaku serta kemampuan yang dibutuhkan pada TK ataupun SD. Selain itu, keterlibatan orang tua di dalam pemberian treatment bagi anak adalah hal yang wajar. Hal ini dikarenakan keterlibatan orang tua, lingkungan sekitar, dan kualitas pemberian treatment sangat menentukan keberhasilan treatment tersebut.


Berikut adalah urutan treatment yang baik bagi anak-anak penderita autisme:
1.      Initial Stages of Treatment
Membangun rapport yang baik dengan anak.
Hal ini sangat dibutuhkan untuk menentukan keberhasilan dari treatment yang diberikan.
Mengajarkan kemampuan kesiapan belajar pada anak
Tahap ini dapat dilakukan dengan langkah kecil, seperti meminta anak untuk menatap pemberi treatment.
Menghilangkan atau menurunkan disruptive behavior pada anak
Anak-anak penderita autisme seringkali menunjukkan sikap yang dapat mengganggu bahkan membahayakan keselamatan dirinya sendiri, seperti berteriak, yelling, tantrum, melempar atau menghancurkan barang, menstimulasi diri sendiri, menunjukkan agresi, serta melukai diri sendiri. Perilaku ini perlu dihilangkan agar anak tersebut terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Teknik yang digunakan untuk tahap ini bermacam-macam, seperti memberikan reward bagi perilaku yang baik, mengabaikan perilaku anak, hingga memberikan hukuman ringan pada anak.
2.      Teaching Appropriate Social Behavior
Mengajarkan imitasi dan pelajaran observasi
Mengekspresikan afeksi
Permainan sosial dan kemampuan sosial kelompok
Peer-mediated interventions
      Peer initiated procedures
      Child initiated procedures
      Sibling mediated procedures
3.      Teaching Appropriate Communication Skills
Pelatihan percakapan operan
      Imitasi verbal
      Receptive labeling
      Expressive labeling
      Incidental teaching
Sign language traning
4.      Family Intervention
Behavioral parent training
Konseling orang tua
      Kesulitan emosional
      Kesulitan interpersonal
5.      Intervensi awal
Preschool programs
Home-based programs
6.      Educational Interventions
7.      Psychopharmachological/Somatic Interventions
























DAFTAR PUSTAKA

Mash, E.J, Wolfe, D.A. 1999. Abnormal Child Psychology. USA: Wadsworth Publishing Company.


RETARDASI MENTAL





I.              Pengertian
American Association on Mental Deficiency (AAMD) membuat definisi retardasi mental yang kemudian direvisi oleh Rick Heber (1961) sebagai suatu penurunan fungsi intelektual secara menyeluruh yang terjadi pada masa perkembangan dan dihubungkan  dengan gangguan adaptasi sosial. Ada 3 hal penting yang merupakan kata kunci dalam definisi ini yaitu penurunan fungsi intelektual, adaptasi sosial, dan masa perkembangan.
Penurunan fungsi intelektual secara umum menurut definisi Rick Heber diukur berdasarkan tes intelegensia standar paling sedikit satu deviasi standar (1 SD) di bawah rata-rata. Periode perkembangan mental menurut definisi ini adalah mulai dari lahir sampai umur 16 tahun.
Gangguan adaptasi sosial dalam definisi ini dihubungkan dengan adanya penurunan fungsi intelektual. Menurut definisi ini tidak ada kriteria bahwa retardasi mental tidak dapat diperbaiki seperti definisi retardasi mental sebelumnya.  Banyak pakar menyatakan bahwa definisi ini terlalu liberal, karena dengan batasan tes intelegensia di bawah satu deviasi standar (1 SD) terdapat hampir 16% dari populasi dapat digolongkan sebagai retardasi mental.2 Pada tahun 1973 melalui Manual on Terminology and Classfication in Mental Retardation Grossman merevisi definisi Heber tersebut. Menurut Grossman retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan. Menurut definisi ini penurunan fungsi intelektual yang bermakna berarti pada pengukuran uji intelegensia berada pada dua deviasi standar di bawah rata-rata. Berdasarkan kriteria ini ternyata kurang dari 3% populasi yang dapat digolongkan sebagai retardasi mental. Periode perkembangan menurut definisi ini adalah mulai dari lahir sampai umur 18 tahun. Gangguan adaptasi sosial menurut definisi ini secara langsung disebabkan oleh penurunan fungsi intelektual.

II.           Penyebab
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang seorang anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu) dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
1.             Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)
1.         Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting)
2.         Perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI, penimbangan bayi secara teratur, pengobatan sederhana, dan lain lain)
3.         Papan (pemukiman yang layak)
4.         Higiene, sanitasi
5.         Sandang
6.         Kesegaran jasmani, rekreasi
2.             Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih).
Pada tahun- tahun pertama kehidupan hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin suatu proses  tumbuh kembang yang selaras, baik fisis, mental maupun sosial.
3.             Kebutuhan akan stimulasi mental (asah).
Merupakan cikal bakal proses pembelajaran (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini membantu perkembangan mental psikososial (kecerdasan, ketrampilan, kemandirian, kreativitas, kepribadian, moral-etika dan sebagainya). Perkembangan ini pada usia balita disebut sebagai perkembangan psikomotor. Kelainan/penyimpangan tumbuh kembang pada anak terjadi akibat gangguan pada interaksi antara anak dan lingkungan tersebut, sehingga kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi. Keadaan ini dapat menyebabkan morbiditas anak, bahkan dapat berakhir dengan kematian. Kalaupun kematian dapat diatasi, sebagian besar anak yang telah berhasil tetap hidup ini mengalami akibat menetap dari penyimpangan tersebut yang dikategorikan sebagai kecacatan, termasuk retardasi mental. Jelaslah bahwa dalam aspek pencegahan terjadinya retardasi mental praktek pengasuhan anak dan peran orangtua sangat penting.

Penyebab retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000 macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial.
Penyebab biologis atau sering disebut retardasi mental tipe klinis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat
2.    Tampak sejak lahir atau usia dini
3.    Secara fisis tampak berkelainan/aneh
4.    Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun postnatal
5.    Tidak berhubungan dengan kelas sosial
Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.    Biasanya merupakan retardasi mental ringan
2.    Diketahui pada usia sekolah
3.    Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium
4.    Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)
5.    Ada hubungan dengan kelas sosial

Melihat struktur masyarakat Indonesia, golongan sosio ekonomi rendah masih merupakan bagian yang besar dari penduduk, dapat diperkirakan bahwa retardasi mental di Indonesia yang terbanyak adalah tipe sosio-kultural.

Penyebab retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam:
1.             Penyebab pranatal
a.         Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme asam amino yaitu Phenyl Keton Uria (PKU), Maple Syrup Urine Disease, gangguan siklus urea, histidiemia, homosistinuria, Distrofia okulorenal Lowe, hiperprolinemia, tirosinosis dan hiperlisinemia. Gangguan metabolisme lemak yaitu degenerasi serebromakuler dan lekoensefalopati progresif. Gangguan metabolisme karbohidrat yaitu galaktosemia dan glycogen storabe disease.

b.        Kelainan Kromosom
kelinan kromosom muncul dibawah 5 persen kehamilan, kebanyakan kehamilan yang memilki kelainan kromosom berakhri dengan kasus keguguran hanya setenggah dari satu persen yang lahir memiliki kelainan kromosom, dan akan meninggal segera setelah lahir. bayi yang bertahan, kebanyakan akan memiliki kelainan down syndrome, atau trisomy 21. Manusia normal memiliki 46 kromosom (23 pasang).
orang dengan kelainan down syndrome memiliki 47 kromosom (23 pasang + 1 kromosom pada kromosom ke 21).



c.              Infeksi maternal selama kehamilan
 yaitu infeksi TORCH dan Sifilis. Cytomegali inclusion body disease merupakan penyakit infeksi virus yang paling sering menyebabkan retardasi mental. Infeksi virus ringan atau subklinik pada ibu hamil dapat menyebabkan kerusakan otak janin yang bersifat fatal. Penyakit Rubella kongenital juga dapat menyebabkan defisit mental.

d.        Komplikasi kehamilan
Meliputi toksemia gravidarum, Diabetes Mellitus pada ibu hamil yang tak terkontrol, malnutrisi, anoksia janin akibat plasenta previa dan solutio plasenta serta penggunaan sitostatika selama hamil.

2.             Penyebab perinatal
a.              Prematuritas
Dengan kemajuan teknik obstetri dan kemajuan perinatologi menyebabkan
meningkatnya keselamatan bayi dengan berat badan lahir rendah sedangkan
bayi-bayi tersebut mempunyai resiko besar untuk mengalami kerusakan
otak, sehingga akan didapatkan lebih banyak anak dengan retardasi mental.

b.             Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir,
umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan.

c.              Kernikterus
Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak
terkonjugasi di dalam sel-sel otak.

d.             Hipoglikemia: menurunnya kadar gula dalam darah.
e.               Meningitis : peradangan membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang
f.              Hidrosefalus : penumpukan cairan di dalam tengkorak, yang menyebabkan pembengkakan otak.


3.             Penyebab postnatal
g.             Infeksi (meningitis, ensefalitis)
h.             Trauma fisik
i.               Kejang lama
j.               Intoksikasi (timah hitam, merkuri)

III.        Klasifikasi Retardasi Mental
Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental berdasarkan PPDGJ III:
1.             F70 Retardasi Mental Ringan (IQ 55-69)
Mulai tampak gejalanya pada usia sekolah dasar, misalnya sering tidak naik kelas, selalu memerlukan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi. 80 % dari anak RM termasuk pada golongan ini. Dapat menempuh pendidikan Sekolah Dasar kelas VI hingga tamat SMA. Ciri-cirinya tampak lamban dan membutuhkan bantuan tentang masalah kehidupannya.

2.             F71 Retardasi Mental  Sedang (IQ 35-49)
Sudah tampak sejak anak masih kecil dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan, misalnya perkembangan wicara atau perkembangan fisik lainnya. Anak ini hanya mampu dilatih untuk merawat dirinya sendiri, pada umumnya tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya, angka kejadian sekitar 12% dari seluruh kasus RM. Anak pada golongan ini membutuhkan pelayanan pendidikan yang khusus dan dukungan pelayanan.

3.             F72 Retardasi Mental Berat (IQ 20- 34)
Tampak sejak lahir, yaitu perkembangan motorik yang buruk dan kemampuan bicara yang sangat minim, anak ini hanya mampu untuk dilatih belajar bicara dan keterampilan untuk pemeliharaan tubuh dasar, angka kejadian 8% dari seluruh RM. Memiliki lebih dari 1 gangguan organik yang menyebabkan keterlambatannya, memerlukan supervisi yang ketat dan pelayanan khusus.

4.             F73 Retardasi Mental Sangat Berat (IQ < 20)
Sudah tampak sejak lahir yaitu gangguan kognitif, motorik, dan komunikasi yang pervasif. Mengalami gangguan fungsi motorik dan sensorik sejak awal masa kanak-kanak, individu pada tahap ini memerlukan latihan yang ekstensif untuk melakukan self care yang sangat mendasar seperti makan, BAB, BAK. Selain itu memerlukan supervisi total dan perawatan sepanjang hidupnya, karena pada tahap ini pasien benar-benar tidak mampu mengurus dirinya sendiri.

F78 Retardasi Mental lainnya
Kategori ini hanya dignakan bila penilaian dari tingkat Retardasi Mental intelektual dengan memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya hendaya sensorik atau fisik, seperti buta, bisu tli, dan penyandang yang perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.
F79 Retardasi Mental YTT
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk meggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.
Termasuk : retardasi mental YTT, subnormalitas mental YTT, oligofrenia YTT.
IV.        Diagnosis Retardasi Mental
Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia saja, melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu dinilai tidak hanya intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental. Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif. Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda-tanda dismorfik dari sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis, serta penilaian tingkat perkembangan. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan retardasi mental dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala: mikrosefali, hidrosefali, dan down syndrome. Wajah pasien dengan retardasi menral sangan mudah dikenali seperti hipertelorisme, yaitu lidah yang menjulur keluar, gangguan pertumbuhan gigi dan ekspresi wajah yang tampak tumpul.
Pada anak yang berumur diatas 3 tahun dilakukan tes intelegensia. Namun, tingkat kecerdasan intelegensia bukan satu-satunya karakteristik, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar ketrampilan spesifik yang berbeda. penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan klinis, prilaku adaptif dan hasil tes psikometrik. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)  kepala dapat membantu menilai adanya kalsifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun-ubun masih terbuka. Pemeriksaan laboratorium dilakuka atas indikasi, pemeriksaan ferriklorida dan asam amino urine  dapat dilakukan sebagai  screening PKU. Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-Scan, dan MRI. Kesulitan yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3 tahun, karena kebanyakan tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar. Pada bayi dapat dinilai perkembangan motorik halus maupun kasar, serta perkembangan bicara dan bahasa. Biasanya penderita retardasi mental juga mengalami keterlambatan motor dan American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1994, mensyaratkan tiga diagnosis keterbelakangan mental, yaitu:
a.       Fungsi intelektual secara signifikan dibawah rata-rata: IQ sekitar 70 atau kurang menurut tes IQ yang diadakan secara individu.
b.      Ketidakmampuan atau kelemahan yang terjadi bersamaan dengan fungsi adaptasi saat ini (yakni efektivitas seseorang dalam memenuhi standar yang diharapkan pada usianya dengan kelompok budayanya) setidaknya dalam bidang berikut ini: yaitu komunikasi, perhatian diri sendiri, kehidupan rumah tangga, keterampilan sosial-interpersonal, penggunaan sumber dalam komunitas, self dierection, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, waktu luang, kesehatan dan keamanan.
c.       Terjadi sebelum berusia 18 tahun.
Tingkatan keterbelakangan mental menurut APA, diklasifikasikan menjadi mild retardation (tingkat IQ 50 atau 55 sampai sekitar 70), moderate mental retardation (tingkat IQ 35 atau 40 sampai 50 atau 55), severe mental retardation (tingkat IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), dan profound mental retardation (tingkat IQ dibawah 20 atau 25).
Dibawah ini sekilas tentang perubahan perilaku terkait usia pada anak dengan keterbelakangan mental :
Keterbelakangan Mental Ringan (IQ = 50 -70)
d.      Anak prasekolah (0 - 5 tahun): lebih lambat daripada rata-rata dalam berjalan, makan sendiri, dan berbicara, namun pengamat sambil lalu tidak melihat keterbelakangan ini.
e.       Usia sekolah (6 - 21 tahun): Belajar keterampilan motorik-pemahaman dan kognisi (membaca dan arithmatic) di kelas tiga sampai kelas enam oleh remaja tahap ini, dapat belajar untuk menyesuaikan diri secara sosial.
f.       Dewasa (21 tahun keatas): Biasanya mencapai keterampilan sosial dan kejuruan yang diperlukan untuk merawat diri, membutuhkan bimbingan dan bantuan ketika berada pada kondisi ekonomi sulit atau stress sosial.

Keterbelakangan Mental menengah (IQ = 35 - 49)
a.       Anak prasekolah (0 - 5 tahun): sebagian besar perkembangan kelihatan dengan jelas terlambat.
b.      Usia sekolah (6 - 21 tahun): belajar berkomunikasi dan merawat kesehatan dasar dan kebutuhan keamanan.
c.       Dewasa (21 tahun keatas): melakukan tugas tanpa keterampilan atau semi terampil sederhana pada kondisi yang diawasi, berpartisipasi pada permainan sederhana dan melakukan perjalanan sendiri di tempat yang dikenal, mampu merawat diri sendiri.

Keterbelakangan Mental Berat (IQ = 20 - 34)
a.       Anak prasekolah (0 - 5 tahun): perkembangan motorik sangat tertunda, sedikit atau tidak berbicara, mendapat mamfaat dari pelatihan mengerjakan sendiri (misalnya makan sendiri).
b.      Usia sekolah (6 - 21 tahun): biasanya berjalan kecuali jika terdapat ketidakmampuan motorik, dapat memahami dan merespon pembicaraan, dapat mengambil mamfaat dari pelatihan mengenai kesehatan dan kebiasaan lain yang dapat diterima.
c.       Dewasa (21 tahun keatas): melakukan kegiatan rutin sehari-hari dan memperbesar perawatan diri sendiri, memerlukan petunjuk dan pengawasan ketat dalam lingkungan yang dapat dikendalikan.

Keterbelakangan Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20)
a.              Anak prasekolah (0 - 5 tahun): keterbelakangan ekstrem disemua bidang, kemampuan sensorik minimal, membutuhkan bantuan perawatan diri.
b.             Usia sekolah (6 - 21 tahun): semua bidang perkembangan tampak jelas tertunda, respon berupa emosi dasar dan mendapatkan manfaat dari pelatihan dalam penggunaan anggota badan dan mulut, harus diawasi dengan ketat.
c.              Dewasa (21 tahun keatas): barangkali dapat berjalan dan berbicara dengan cara primitive, mendapatkan mamfaat dari aktivitas fisik regular, tidak dapat merawat diri sendiri, tetapi membutuhkan bantuan perawatan diri.

V.           Prognosis Retardasi Mental
Mengukur kecerdasan dan perilaku adaptif dapat membantu klasifikasi dari kecenderungan keterbelakangan dan dapat memprediksikan apakah individu tersebut dapat hidup secara independen. Individu dengan keterbelakangan mental menengah (moderate mental retardation) lebih sering ditemukan dapat mencapai seilf-sufficiency dan mendapatkan hidup yang bahagia. Untuk mencapai tujuannya, mereka membutuhkan lingkungan yang sesuai dan mendukung seperti pendidikan, komunitas, lingkungan sosial, keluarga dan keterampilan yang konsisten. Harapannya lebih kecil untuk individu yang menderita keterbelakangan mental sangat berat (profound retardation). Individu dengan profound retardation membutuhkan dukungan yang besar dan biasanya tidak bisa hidup secara independen atau di rumah secara berkelompok.
Penelitian menemukan bahwa mereka memiliki harapan hidup yang lebih kecil. Kecenderungan dari keterbelakangan invidu cenderung menetap selama hidup. Misalkan seorang anak didiagnosa memiliki keterbelakangan mental berat (severe) pada usia 5 tahun, maka ia akan memiliki diagnosa yang sama pada usia 21 tahun. Hal ini mungkin tidak akan terlalu terlihat oleh keluarga mereka, dimana anak-anak dengan keterbelakangan memiliki kemampuan yang mirip dengan rekan-rekan mereka, namun akan nampak bahwa mereka akan semakin tertinggal dengan sejalannya usia mereka.

  1. Peran Psikolog dalam Menangani Klien Retardasi Mental
Penanganan pada anak dengan retardasi mental didasarkan pada penilaian akan kebutuhan sosial, pendidikan, lingkungan, kelainan psikiatrik dan neurologis yang menyertai. Tujuan akhir dari penanganan ini adalah untuk menciptakan tempat yang aman dan memungkinkan anak untuk berfungsi dan mengembangkan potensinya secara optimal. Perlu ditegakkan diagnosa dini, pendidikan untuk keluarga dan pendidikan luar biasa untuk anak tunagrahita.
           Medis
1.      Pemeriksaan anak dan penilaian neuromotor, evaluasi grafik pertumbuhan anak dan penilaian tentang adanya kelainan fisik minor dan tanda lain, sindroma medis yang spesifik.
2.      Pemeriksaan pendengaran dan penglihatan, pemeriksaan laboratorium.
3.      Analisa kromosom dilakukan terutama pada kasus dengan kelainan fisik minor yang multiple atau adanya kelainan bawaan. Bila ada kecurigaan melformasi otak, dilakukan pemeriksaan neuradiologi.
4.      Pemeriksaan EEG dilakukan bila ada kecurigaan kejang.
5.      Pada beberapa jenis, kondisi retardasi mental ini dapat dicegah misalnya dengan imunisasi, skrining diikuti diit, diberi terapi pengganti (pada hypotiroid).
6.      Obat yang dapat diberikan adalah obat-obat yang mengatasi hiperaktivitas, gangguan tingkah laku (misalnya agresif, menyekiti diri), kejang (epilepsi).
7.      Fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara.
          
           Non Medis
Support dari keluarga, pendidikan, dibutuhkan pula intervensi dini dan program pendidikan khusus. Usia 3-21 tahun, sekolah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan edukasi yang sesuai untuk anak tunagrahita, dengan mengacu pada program pendidikan individual. Usia sekolah dengan tunagrahita ringan dengan komprehensif cukup dan tidak disertai kelainan tingkah laku dapat masuk ke prasekolah biasa dan mendapat terapi bicara. Untuk anak dengan atensi dan konsentrasi terbatas, perlu guru khusus yang menggunakan teknik memfokuskan atensi untuik meningkatkan proses belajar. Pada retardasi mental berat dengan gangguan komunikasi yang berat perlu kelas dengan perbandingan guru dan murid yang rendah, memahami tentang intervensi murid dengan pembelajaran nonverbal dan gangguan komunikasi sosial.
Penanganan terhadap penderita retardasi mental bukan hanya tertuju pada penderita saja, melainkan juga pada orang tuanya. Mengapa demikian? Siapapun orangnya pasti memiliki beban psiko-sosial yang tidak ringan jika anaknya menderita retardasi mental, apalagi jika masuk kategori yang berat dan sangat berat. Oleh karena itu agar orang tua dapat berperan secara baik dan benar maka mereka perlu memiliki kesiapan psikologis dan teknis. Untuk itulah maka mereka perlu mendapatkan layanan konseling. Konseling dilakukan secara fleksibel dan pragmatis dengan tujuan agar orang tua penderita mampu mengatasi bebab psiko-sosial pada dirinya terlebih dahulu.
Pencegahan retardasi mental tergantung pada pemahaman terhadap berbagai penyebabnya. Bidang genetika medis belum mampu mencegah penyebab genetik yang lebih parah dalam retardasi mental, namun kemajuan yang menakjubkan dalam ilmu genetika dapat mengubah situasi ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bila penyebab retardasi tidak diketahui, maka pencegahan tidak mungkin dilakukan. Namun, penanganan untuk meningkatkan kemampuan orang yang bersangkutan untuk hidup mandiri dapat menjadi pilihan.
Bila lingkungan miskin menjadi sumber retardasi ringan, program-program pengayaan, seperti Head Start, dapat mencegah semakin buruknya kelemahan yang dialami dan kadang dapat mengatasi kelemahan yang sudah terjadi.
a.              Penanganan Residensial. Sejak tahun 1960-an, sebagian besar orang yang mengalami retardasi dapat menguasai kompetensi yang dibutuhkan untuk berfungsi secara efektif di masyarakat. Trend yang berlaku adalah memberikan pelayanan pendidikan dan layanan masyarakat bagi para individu tersebut dan bukan perawatan yang sangat bersifat pengawasan seperti di rumah-rumah sakit jiwa besar. Sejak tahun 1975, individu yang mengalami retardasi mental berhak untuk mendapatkan penanganan yang sesuai dalam lingkungan dengan batasan yang sangat minimal. Anak-anak yang mengalami retardasi mental dapat tinggal di rumah atau di rumah-rumah perawatann yang dilengkapi dengan layanan pendidikan dan psikologis. Hanya orang-orang yang mengalami retardasi mental berat dan sangat berat serta memiliki cacat fisik yang cenderung tetap tinggal di berbagai institusi mental (Cunningham & Mueller, 1991).
b.             Intervensi Behavioral Berbasis Pengkondisian Operant. Program ini dikembangkan untuk meningkatkan tingkat fungsi para individu dengan retardasi berat. Beberapa proyek pelopor telah melakukan intervensi pada anak-anak dengan sindroma Down semasa bayi dan kanak-kanak awal sebagi upaya meningkatkan fungsi mereka. Program-program tersebut umumnya mencakup instruksi sistematis yang dilakukan di rumah dan pusat penanganan terkait perkembangan sosial. Ditetapkan berbagia sasarann behavioral spesifik; dan dalam mode operant, anak-anak diajari berbagai keterampilan selangkah demi selangkah dan berurutan ( a,l., Clunies-Ross, 1979; Reid, Wilson, & Faw, 1991 ).
Anak-anak dengan retardasi mental berat biasanya membutuhkan instruksi intensif agar mampu makan, menggunakan toilet, dan berpakaian sendiri. Prinsip-prinsip pengkondisian operant kemudian diterapkan untuk mengajarkan berbagai komponen aktivitas makan tersebut kepada si anak. Contohnya, si anak dapat diberi penguat untuk terus-menerus mencoba mengambil sendok sampai ia mampu melakukannya. Pendekatan operant kadang disebut analisis perilaku terapan, juga digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak pada tempatnya dan perilaku mencederai diri sendiri.
Gerakan maladaptif dan tindakan mencederai diri tersebut sering kali dapat dikurangi dengan memberi penguat pada respons-respons pengganti.
c.              Intervensi Kognitif. Banyak anak yang mengalami retardasi mental tidak mampu menggunakan berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah, dan bila mereka memiliki strategi, mereka sering kali tidak menerapkannya secara efektif. Latihan Instruksional Diri mengajari anak-anak tersebut untuk memandu upaya penyelesaian masalah mereka melalui kata-kata yang diucapkan. Meichenbaum dan Goodman ( 1971 ) merinci prosedur lima langkah:
1.             Guru melakukan tugas terkait, mengucapkan instruksi dengan keras kepada dirinya sendiri sementara si anak mengamati dan mendengarkannya.
2.             Anak mendengarkannya dan melakukan tugas tersebut sementara guru mengucapkan instruksinya kepada si anak.
3.             Si anak mengulang tugas tersebut seraya mengucapkan instruksi kepada dirinya sendiri dengan keras.
4.             Si anak mengulang kembali tugas tersebut seraya membisikkan instruksinya kepada dirinya sendiri.
5.             Anak siap melakukan tugas tersebut seraya memberikan instruksi tanpa bersuara kepada diri sendiri.
Anak-anak yang mengalami retardasi mental berat menggunakan berbagai tanda alih-alih bicara untuk memandu dirinya melakukan tugas terkait. Latihan instruksional diri telah digunakan untuk mengajarkan pengendalian diri dan cara memusatkan perhatian serta cara menguasai berbagai tugas akademik kepada anak-anak yang mengalami retardasi. Anak-anak dengan retardasi berat dapat secara efektif menguasai keterampilan mengurus diri sendiri melalui teknik ini. 
d.             Instruksi dengan Bantuan Komputer. Instruksi dengan bantuan computer semakin sering digunakan di seluruh lokasi semua jenis pendidikan. Instruksi ini sangat cocok diterapkan dalam pendidikan bagi individu yang mengalami retardasi mental. Komponen visual dan auditori dalam komputer mempertahankan konsentrasi para siswa yang sulit berkonsentrasi, tingkat materi dapat disesuaikan dengan individu sehingga memastikan keberhasilan pembelajaran, dan komputer dapat memenuhi kebutuhan akan banyaknya pengulangan materi tanpa menjadi bosan atau tidak sabar seperti yang dapat terjadi pada guru. Program instruksi dengan bantuan computer telah terbukti lebih baik dari berbagai metode tradisional untuk mengajarkan cara mengeja, menggunakan uang, aritmetika, membaca teks, pengenalan kata, menulis, dan diskriminasi visual kepada orang-orang yang mengalami retardasi mental ( Corners, Caruso, & Detterman, 1986 ).































DAFTAR PUSTAKA

e.       The Gale Group. Gale Encyclopedia of Medicine, 3rd ed.
f.       (http://psychologynews.info/gangguan-psikolgi/keterbelakangan-mental-2/) Diakses pada tanggal 8 Oktober 2013 pk. 08.39
g.      Jevuska. 2007. Retardasi Mental. (http://www.jevuska.com/2007/01/19/retardasi-) Diakses pada tanggal 8 Oktober 2013 pk. 08.42
h.      Intellectual Disability (Mental Retardation) Description. (http://www.medicalhomeportal.org/diagnoses-and-conditions/intellectual-disability/description) Diakses pada tanggal 8 Oktober 2013 pk. 09.02
i.        Davidson Gerald C. Neille, ANN M. Kring. (2004) Psikologi abnormal. Edisi ke-9, Rajawali Press.